You're My Sunflower

147 27 6
                                    

Warning! Konten eksplisit!








Tengkoraknya remuk parah. Dia udah pergi, Jen.

Suara tercekat Mark masih Jeno ingat dari panggilan mereka dini hari tadi. Roommatenya tersebut mungkin sama terkejutnya dengan Jeno, Mark bilang polisi mengetuk pintu asrama mereka dan bertanya-tanya tentang tetangga asrama mereka, Lee Haechan.

Jenazah pemuda malang itu ditemukan di seberang jalan tak jauh dari kampus mereka.

Dengan tengkorak depan yang nyaris hancur, awalnya tubuh tergeletak bermandikan darah itu tidak bisa diidentifikasi oleh pihak berwajib, beruntungnya masih ada sidik jari yang bisa dicocokkan dengan data orang hilang.

Haechan dinyatakan hilang oleh teman sekamarnya setelah janji temu mereka yang terlewat tiga puluh enam jam. Mereka berencana bergantian menjaga kamar asrama setelah Haechan kembali dari perjalanan pulang kampungnya. Namun setelah menunggu dan bahkan menelepon keluarga Haechan terkait kepulangannya, mereka bilang Haechan sudah menaiki kereta sejak kemarin siang.

Sayangnya pemuda itu tak pernah sampai kembali ke asramanya.

Udara pagi buta menggigit tulang siapapun yang berani keluar, tetapi itu tidak menghentikan orang-orang datang ke rumah duka.

"So sorry for your loss, Bang."

Jeno mengusap pelan punggung pria tinggi dalam pelukannya. Itu Johnny, kakak tingkat Jeno yang sudah lulus, juga kakak kandung Haechan.

"Tiga puluh enam jam ... dia sembunyi dimana sampe roommatenya aja gak tau?"

Pemuda Lee hanya mendengarkan Johnny, tak berniat membalas. Kepalanya tak bisa memikirkan apapun ditengah duka yang kental. Dadanya semakin berat mendengar nada penyesalan dalam kalimat yang lebih tua.

"Gue... gue harusnya mantau dia terus."

"Bukan salah siapa-siapa, Bang, kita yang tinggal di sebelahnya aja gak tau apa yang terjadi sampe dapet kabar ini."

Tubuh besar kekar Johnny kini terasa layu dan lesu dalam pelukannya.

Rumah duka itu tak terlihat akan menyepi dalam waktu dekat, banyak rekan Haechan dan penghuni asrama silih berganti untuk memberi penghormatan terakhir padanya; termasuk Jeno, Renjun, dan Mark. Peti yang ditutup tidak serta-merta meredakan lara dan tangisan orang-orang.

"Jen, pulang dulu yuk, kamu belum tidur soalnya." Ujar Renjun pelan. Rupanya dia sudah selesai memberi penghormatan.

Jeno mengangguk lemas lalu berpamitan pada keluarga yang berduka. Mereka masuk ke mobil Renjun dengan pemuda Lee duduk di kursi pengemudi, tetapi untuk beberapa saat Jeno hanya diam memegang setir.

Perlahan, kehangatan menelusup melalui sela-sela jemari Jeno ketika sang kekasih menyelipkan tangannya disana. Itu cukup mengembalikan fokus Jeno yang tercabik-cabik beberapa minggu kebelakang.

"Aku yang nyetir." Saran yang lebih mungil.

Dan dengan begitu keduanya bertukar tempat duduk. Selama perjalanan menuju rumah Renjun hanya ada deru mesin dan hembus angin yang terdengar lantang. Keheningan yang nyaman untuk menyembuhkan rasa duka.

"Kamu sore ini mau gantian jaga mama di RS kan? Mending jangan ke kampus dulu, istirahat."

Jeno mendengung setuju, menyandarkan kepalanya di jendela mobil. Tidak bisa membayangkan seperti apa transkrip nilainya nanti. Jeno bukanlah mahasiswa yang ambisius, bukan pula mahasiswa yang sembrono, hanya saja belakangan ini hal lain menjajah seluruh fokusnya.

FlawlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang