Comfort Crowd

74 16 2
                                    

Kepala Jeno terasa seperti diikat barbel sepuluh kilogram, tangan dan kakinya terkulai mati rasa, dengung menulikan terus muncul di telinga, kerongkongannya berubah menjadi gurun sahara sampai ingin merintih saja sangat menyiksa.

Setelah memfokuskan inderanya, barulah Jeno sadar ia berada dalam posisi duduk di kursi kayu, kedua kaki tangannya diikat erat. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, Jeno semakin dibuat bingung bahwa kini ia berada dalam ruangan familier berlantaikan karpet beludru merah, disekelilingnya banyak benda-benda ditutupi kain satin putih. Cahaya matahari dari jendela besar membuat kepalanya berdenting seperti bel akibat diberi stimuli terlalu masif.

Pintu kaca di serong kanannya terbuka, Jeno mendengung meminta tolong kepada siapapun untuk sekedar memberikannya segelas air atau melepaskan ikatan yang memberi memar pada kaki dan tangannya ini.

"Oh, kamu udah bangun?"

Seseorang dengan perawakan mungil mengenakan kemeja kuning kebesaran begitu buram di mata Jeno, tapi setelah jarak wajah mereka hanya menyisakan tiga puluh sentimeter, Jeno melihat jelas rupa orang yang ia kira ia kenal baik.

"Ren..."

Telunjuk Renjun membungkam bibir Jeno, "hup hup... hush, kamu nikmatin aja pameran pribadiku."

Jeno tak mampu melakukan apapun ketika Renjun mulai membuka kain yang menutupi benda pertama di paling kiri.

Itu adalah lukisan seorang gadis pirang sekitar era abad ke-18 dengan gaun musim panas kuning, duduk di tengah hamparan ladang gandum membawa keranjang piknik. Yang menarik perhatian ada pada detail yang realistis, mata birunya menatap antusias, bibir terpoles merona membentuk senyum tipis nan manis. Namun yang paling terlihat nyata adalah bagian freckles dan rona pipi gadis muda itu.

Tunggu, Jeno tidak bisa memproses apapun dalam keadaannya saat ini. Gejolak dalam perutnya bereaksi lebih cepat dari otak Jeno.

"Bagian ini aku namain 'summer', simple kan? Hehe..."

Jeno tidak mengerti, seingatnya Renjun menangis dalam dekapannya dan-

Oh, ia ingat Renjun menyuntikkan sesuatu padanya dan disanalah Jeno berakhir.

"Ini heavily inspired dari lukisan Sir John Everett yaitu "Ophelia", pake gaya Prerafaelitisme yang populer di pertengahan abad ke-18. Pernah dibahas di kelas sejarah seni kalo kamu lupa." Renjun menunjuk pada detail-detail dalam lukisan, "khasnya itu warna-warna cerah, detail yang realistis tapi tetap bawa nuansa dreamy dalam kerealistisannya itu. Pesan itu yang mau aku sampaikan, kita masih bisa bermimpi indah ditengah dunia kejam ini."

"Oh iya, kamu liat detail disini?"

Renjun menunjuk pada wajah si gadis dalam lukisan, bagian pipi khususnya, Jeno berharap tidak pernah melihatnya.

"Keliatan realistis kan? Teksturnya juga realistis loh, kamu mau pegang?"

Pemuda yang diikat di kursi menggeleng kuat kala easel beroda yang menopang lukisan itu didorong mendekat pada Jeno. Dan ini pertama kalinya dalam kisah Jeno sebagai mahasiswa seni takut kepada sebuah lukisan.

"Kamu tau kenapa? Karena ini emang kulit asli!" Renjun terkikik, "aku pikir repot banget bikin titik-titik yang harus keliatan realistis, kenapa gak pake objek aslinya aja?"

Telunjuk Renjun bergeser pada sebuah coretan di pojok bingkai yang ternyata adalah sebuah nama. Suara permukaan jemari Renjun bergeser diatas kanvas dan cat mengering tidak pernah terdengar semengilukan ini di telinga Jeno. Kilasan-kilasan foto dalam maps yang Jaemin berikan tidak bisa Jeno cegah muncul di pikirannya seiring matanya bergulir membaca nama di pojok bingkai.

FlawlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang