Temanku Dibunuh dan Arti dari Mati Segan Hidup Enggan

3 1 0
                                    

Mike baru saja ditemukan sukses mengakhiri hidupnya pada awal tahun.

Seminggu kemudian, lokernya penuh ucapan-ucapan belasungkawa dan karangan bunga. Dua bulan kemudian, ia masuk dalam data statistik sebagai angka kematian remaja. Satu tahun kemudian, namanya terasa asing di hati orang-orang. Bayangkan dua puluh tahun dari sekarang: Mike Shore bukan lagi seorang individu, tapi hanya sebuah namaㅡkosong, tanpa arti, hambar.

Sederhananya, kisah Mike mirip saat aku bercermin dan mengucapkan namaku berulang kali. Awalnya, aku bisa merasakan eksistensiku merekat pada keutuhan nama tersebut, tapi setelah lima sampai sepuluh menit, namaku rasanya hanya racikan alfabet semata.

Kesimpulan yang bisa ditarik adalah segala sesuatu yang berulang bisa meluaskan kehampaan. Mungkin, antariksa juga disusun dari keberulangan yang terus-menerus sampai muak. Makanya, kehampaan membentang entah dari mana sampai mana.

Bukannya bermaksud filosofisㅡaku bukan murid filsuf mana pun. Aku curiga ada bahan lain dalam sigaret ini. Enggak mengherankan, sih. Toh, sigaret ini curian dari loker Mike yang diisengi teman-teman bangsatnya.

Iya, aku cukup kenal Mike untuk tahu dia tinggal di kolong struktur sosial. Betulan, ia bisa dibilang tinggal di gorong-gorong. Rumahnya hanya satu kamar 10 m x 10 m yang dihuni dirinya, adiknya, dan ibunya yang sakit-sakitan.

TMI: Ayah Mike menembak kepalanya sendiri setelah dipecat yayasan out sourching yang menggerogoti kejiwaannya. Sampai detik penguburan Mike, tidak ada yang tahu darimana ayah Mike mendapatkan senjata api. Bukannya berarti sempat dilakukan pengusutan juga, sih.

Malam itu, aku cuma mau bilang kalau stroberi yang kuhadiahkan pada Mike sebagai kompensasi kalah judi harus segera dimakan.

Siapa sangka? Aku justru menemukan stroberi itu dalam wujud jus darah dan jeroan tengkorak di sepanjang lantai rumah Mike yang hanya terdiri dari ruang tengah, satu ranjang, dan beberapa sofa kecil. Mengerikan.

Pada saat itu, bau amisnya mengalahkan wisata ke pasar ikan atau ke pulau nelayan. Aku langsung saja muntah-muntah dan menangis hingga pening.

Namun, malam ini, rasanya peristiwa itu sudah lama sekali. Rasanya, arti perih dan tragedinya lambat laun jadi hambar dan enggak berartiㅡberangsur-angsur jadi berita di koran digital dan memori.

"Daniel, keluar malam ini?" Itu temanku yang lain, Lee. Matanya tampak lusuh dan pipinya cekungㅡlingkaran hitam menaungi matanya. Mungkin dia enggak tidur dua hari, bukannya mengejutkan juga, sih.

"Apa yang mereka punya?" Aku bangkit dari sofa koyak yang sudah kutiduri selama 12 jam hari ini. Aku enggak pergi sekolah karena alasan mental, tapi kalau kukatakan yang sebenarnya, aku menderita mual hebat setiap harus melewati loker Mike. Bau amisnya enggak ikut melebur jadi data statistik.

"Hanya tembakau dan beberapa kaleng bir. Ah, tambahkan mobil SUV ke dalam daftar. Plus, bagian belakangnya disulap dengan matras."

"Kau pikir kita akan bincang-bincang sambil lihat bintang? Enggak ada perempuan yang diikutsertakan. Enggak ada payudara yang bisa menghangatkan," gerutuku sambil menyalakan sigaret kedua. "Alias, aku malas."

Jangan hakimi aku, aku enggak tertarik pada lelaki. Aku lurus secara radikal dan rasanya akan mengerikan mengendarai SUV bersama perjaka-perjaka hingga ke ujung tebing. Aku menolak mati dalam kondisi perjaka, apalagi berkelompok.

"Dude, malam ini adalah peringatan kematian Mike yang setahun. Kita enggak cari cewek dan mabuk-mabuk untuk senang-senang. Kita mabuk-mabuk untuk mengenang," sergah Lee, sekarang tatapannya garang.

Aku sangat harus mengomentari sergahannya demi menepis desakan air mata, "Enggak heran. Empatisan palsu. Harus mabuk dan teler baru bisa sedih."

"Hey!"

Oke, aku rasa aku berlebihan.

Akhirnya, enggak ada buah dada dan pantat kenyal untuk penghangat, tapi kami masih mengendarai SUV dari perkotaan yang paling kumuh ke sepanjang bibir pantai.

Anggur merah paling murah di tangan kananku, sengaja kujulurkan ke luar jendela mobil. Tutupnya sudah dibuka, cairannya berjatuhan bagai isi pembuluh darah Mike yang berceceran.

Asap membumbung dari sigaret kami berdua. Pantai membentang, tenang, meski garisnya dihantam buih laut tanpa lelah. Bulan terbit dan merangkak hingga puncak galaksi yang terlihat.

Lalu, aku merasa kami hambar. Kami bukan Daniel dan Lee. Bukan juga Mike Shore atau filsuf, akuntan, tentara, bankir.

Kami tanpa identitas. Kami tiada tara. Tapi, kami juga bukan apa-apa.

Kemudian aku dengar angin menderukan bisik. Katanya, "Mati, mati, mati." Dan aku maupun Lee saling melirik, kami sama-sama gamang tentang hidup dan mati.

Siapa, sih, yang memasarkan teknik lepas dari masalah dengan bunuh diri ini? Efektif sekali strategi marketingnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Potret DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang