Menyesap Teh Orang Mati

23 2 0
                                    

Telah ditemukan korban tabrak lari di Jalan Raya Soekarno Hatta pagi ini.

Setelah dilakukan otopsi cepat dan tepat di lokasi kejadian, diperoleh informasi bahwa yang bersangkutan bernama Tikus. Segera setelah darahnya berhamburan, isi perutnya terburai kemana-mana, dan tubuhnya mendingin kaku, korban mendapat predikat khusus: Bangkai. Korban kemudian dapat dikenal secara utuh oleh khalayak sebagai Bangkai Tikus. Orang-orang tidak ada yang mau berhenti untuk mengerubungi korban tabrak lari ini—tidak seperti apa yang umumnya terjadi. Polisi-polisi memalingkan muka, menarik mundur serombongan aparat kembali ke markas. Para detektif tak sudi mengunjungi makam dadakan korban yang tak mungkin dimandikan dan dikuburkan masyarakat beragama ini. Paramedik langsung menyerah tanpa mencoba mencari denyut nadi korban. Seluruh isi negara tidak memilih berkabung dan justru melanjutkan putaran roda kehidupan. Semua rakyat termakan obral kata para pejabat yang meyakinkan bahwa kekayaan negara lebih berharga bagi pemakaman yang lain dibandingkan pemakaman korban tabrak lari ini.

Aku? Aku harus menelan susah payah rasa besi yang menggaruk pangkal lidah dan kerongkonganku. Perutku mual, tapi tak ada sisa makanan yang bisa kumuntahkan.

Aku tak sengaja menendang korban!

Aura dingin menerkam setiap syaraf yang dimiliki kulitku. Rambut-rambutku merinding hingga pelipisku pening. Astaga! Bukan aku! Bukan aku pembunuhnya! Namun, aku beruntung seluruh isi dunia telah memalingkan mukanya dari korban ini. Ah, tapi itu tidak menghilangkan gemeletuk gigiku yang disergap rasa cemas dan takut. Ah, sial! Kenapa juga hari ini? Langit cerah tampak mencibir. Apalagi matahari yang mentereng melukai kulit tipis pucatku. Mana kehangatannya? Dimana aku menghilangkannya? Sebentar, bulan apa ini? Tahun berapa? Ah, apa itu bulan dan tahun? Hari? Oh, ya...

Aku sudah mati.

Baik sekali semesta membiarkanku masih merasakan sulfur di mulutku. Ya, ya, ya, aku ingat dengan terlampau jelas. Aku lah Si Bangkai Tikus itu. Menarik, bukan? Bahkan Gregor Samsa yang diciptakan Kafka pun tidak pernah tahu rasanya menjadi bangkai tikus. Dostoyevsky pun belum pernah menuliskan khayalan rasanya tinggal di gang-gang antara lambung dan usus bangkai tikus. Apalagi Shakespeare; setiap drama dan teaternya belum pernah melibatkan seekor tikus, apalagi bangkainya. Aku selalu bermain menjadi ceritaku yang kususun dan kumainkan saja. Seringkali, sejauh ini, hanya sendiri. Meski pun beberapa sosok timbul-menghilang satu, dua, atau beberapa kali, aku senantiasa menjadi tokoh tunggal dalam teater ini.

Pagi ini, seperti rutinitasku, aku bangun dari mimpi hitam kelam dan meniti jalanan Bandung dalam seragam lengkap. Sama seperti kemarin, sama seperti tahun lalu juga. Sudah 5 tahun, kurasa, aku memakai pakaian ini. Tidak pernah kuganti, tidak pernah kuberi orang. Damri belum datang menjemput. Aku pun tak bisa mengutuk atas keterlambatan karena sejatinya Damri yang itu tidak mempublikasikan jadwal pergi yang tetap (kecuali mulai operasi pukul lima dan berhenti pukul delapan belas). Pak supir bukan rekan dekatku, jadi aku tak bisa memanggilnya untuk memintanya mempercepat laju Damri. Kami belum pernah bertukar sapa sekali pun. Walau begitu, secara konstan Pak supir selalu berganti wajah dan aku hanya memerhatikan dan menghapal ragam rautnya dari pantulan cahaya di tiang kuning. Hari ini, aku menjemput Damri pukul lima pagi dan sampai di tempat kerjaku pukul enam tepat. Aku selalu tidak sarapan, kurasa Pak supir pun demikian.

Baiklah, cukup omong kosongnya. Biar aku mulai ceritakan bagaimana aku mati. Setiap hari aku selalu memasukkan sebuah piringan hitam dan satu kaset kecokelatan kedalam tasku. Alasannya ialah perkataan ayahku bahwa barang-barang berharga tidak boleh ditinggalkan. Maka aku memasukkan dua benda gelap tersebut kedalam tas ranselku. Hari ini, aku bersemangat sekali untuk mati kesekian kalinya. Ya, aku selalu mati di kubikel berpelengkap satu set komputer pintar itu. Hal yang menjadikan rutinitas pagi ini berbeda ialah bangkai yang tak sengaja kutendang. Hal yang sangat sialan menjijikan. Terlebih karena bangkai itu mengingatkanku akan diriku yang selalu mati dan hidup bagai lampu tidur. Sekejap, saklar menghendaki lampu hidup. Sekejap kemudian, saklar menghendaki lampu mati. Sama persis seperti hubunganku dengan waktu.

Potret DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang