Sebatang Korek Api dari Sumur

29 3 0
                                    

Hari ini Jum'at,

atau Sabtu. Aku tidak yakin.

Tanggal pun sudah kutanggalkan dari ingatan. Menurut sel-sel otakku, tanggal sudah saru. Pokoknya, yang penting ialah, aku harusnya hari ini sudah jadi jantungmu. Tujuannya tiada lain ialah agar aku bisa berhenti semauku, agar kau tahu bagaimana sakitnya ragaku saat itu—saat jantungku mati sepersekian detik sebab cemburu yang ganas-ganasnya menyerang. Memang, aku tak mampu salahkan kamu. Apalagi gadis lugu dari desa yang kau temui tiap malam Sabtu itu. Ah, betapa lugu, betapa tak lucu. Komedi ini, aku harap segera merupa akhir kalau bukan segitiga bermuda yang mematikan segala. Kalau tidak, aku akan segera menjatuhkan kalian kedalam sumur saja. Supaya tenang aku disini karena tak harus menatap kemesraan kalian di khayalku. Supaya bahagia kalian abadi dan cium serta peluk kalian tak terhalang kelebat waktu.

Dwi Sena, ingatkah engkau tentang Puan Lara? Kau patut marah segila itu padanya. Karena aku pun juga! Ia telah meninggalkan ribuan luka dari satu tindakan. Sirna sudah semua yang kau yakini bertahun-tahun, Tuan. Memang benar, lelaki itu titik lemahnya ada pada dadanya, rusuknya. Sejak hari dimana para adam kehilangan rusuk-rusuknya, mereka tidak pernah tahu diri! Tidak pernah mengerti dan bisa melepaskan! Selalu saja tungkainya dipaksa mengejar...mengejar...dan terus mengejar barang apapun yang sewarna putih gading dan dicocokannya menjadi rusuknya yang hilang itu. Tak sadarkah kalian betapa kalian t'lah dikutuk Yang Maha Esa? Tak pandai-pandai pula kalian mensyukuri tulang dada, tulang belikat, trakea, dan tulang rahang menawan yang kalian punya. Alih-alih, kalian rela menukar segala dengan sebatang rusuk yang hilang-hilangan.

Engkau pun tak jauh beda, Dwi Sena! Tak tahu kah engkau setiap sepertiga malam aku merapal do'a juga mantra agar kau terpikat dan bersyukur oleh hadirnya aku? Aku yang menawarkan sebatang korek api saat kau meringkuk dalam sumur kekecewaan karena Puan Lara! Aku yang membuatkan kau sarapan, makan siang, makan malam dan memastikan kau minum obat saat demam kala ibumu dan bibimu jauh di kota sana! Aku yang menemanimu bergerak! Aku yang menemanimu menggaungkan perubahan! Perlawanan! Seluruh panji yang kau bawa ke peperangan itu... semuanya hasil jahitan jemariku, Tuan. Tapi mengapa... mengapa... Tuan... mengapa saat ini aku lah justru yang meringkuk di sumur—mengais-ngais dasarnya yang terbuat dari tanah ketidakterimaan; perlawanan atas takdir—berharap menemukan sebatang korek api untuk menyulut tangga keluar. Tapi nihil seluruh upayaku, Tuan. Bagai domino kesia-siaan. Barangkali sebentar lagi aku akan berubah menjadi kecoa seperti Gregor Samsa. Kemudian aku hendak menginjak diriku sendiri karena jijik dan semua itu salahmu, Dwi Sena!

Oh, untuk catatan kecil barangkali kau lupa—seperti engkau selalu sebagaimana—namaku Kandika Larasati Juang dan kau selalu memanggilku Ika. Aku Ika, puan lain yang saat ini tersedu menjumpai percakapanmu dengan Wayan Asmi, perempuan lugu yang ingin sekali ku hardik, ku cabik.

"Siapa Wayan Asmi?" selorohku begitu saja. Ponselmu di genggamanku: menghangat tiba-tiba. Mungkin karena genggamanku mendingin, membeku, dan berkeringat pertanda emosi memuncak ke ubun-ubun. Mataku menyalak garang, tak lama kemudian kulempar ponselmu menabrak lantai. Ah, sepertinya LCD-nya retak. Maafkan aku Dwi Sena, tapi aku tak menyesal. Sementara itu kau malah memiringkan kepala, bingung atas reaksiku yang berlebihan. Kau berjongkok, meraih ponselmu yang berhamburan baterai serta tutupnya, merapikannya tanpa banyak bicara.

Iya, Tuan. Aku paham! Kau benci adegan teatrikal yang diseret ke dunia nyata. Aku paham betul aku berlebihan! Tapi bisakah engkau menatap mataku lurus-lurus, menggenggam tanganku yang dingin membeku dan mengecup keningku yang panas, geram, sambil membisikkan kata-kata penenang? Sungguh, aku membutuhkan itu saat ini. Walau begitu, selalu ada jarak yang memisahkan asa dan realita. Jarak itu bagiku dan kamu saat ini merupa tiga langkah lebar kaki orang dewasa. Kau berjongkok bersama ponselmu di genggaman, menatap lurus tepat dimataku dengan heran. Dan aku menatapmu segalak yang kubisa. Meski kuyakin sepenuhnya, aku t'lah diruntuhkanmu. Sebagai wanita, kehormatanku hancur lebur. Aku merasa tak diharapkan; ditolak.

"Kamu kenapa?" ujarmu diiringi segaris lipatan di dahi. Aku malah mengembuskan napas keras dan menangis sejadi-jadinya. Kelak kau akan tahu, tangis dan helaan napasku itulah jawabanku, Dwi Sena. Bahwasanya, Bimasena juga berafiliasi dengan Aprodhite. Sekuat apapun aku ingin terlihat di hadapanmu dan dunia, aku tetaplah berasal dari Venus; aku perempuan.

"Siapa Wayan Asmi?" lirihku, dan saat tak menemukan mulutmu bergerak menjawab, aku mengulang pertanyaanku dengan nada yang lebih tegas, "Siapa, Wayan Asmi?!" tanpa kusadari napasku bergetar dan air mata yang sedari tadi terjun bebas dari pelupuk mataku jatuh lebih deras lagi. Sementara itu, Dwi Sena berkedip dua kali dan menjawab pertanyaanku datar seolah sedang berkata: 'Apa yang salah dengan dirimu?' Oh, betapa aku benci tatapanmu ini.

"Dia temanku, seseorang yang berharga bagiku. Kami memang belum lama ini saling mengenal, tapi kutemukan diriku dan dirinya dalam percakapan panjang yang dalam dan hangat." Jelasmu saat itu. Sungguh, Dwi Sena, kalau saja indra keenammu berupa pendegaran tajam, pasti kan kau dengar gemeletuk jiwaku menggigil dan nyaringnya retakan hatiku. Selain deru napas kita yang beradu melebur bersama angina malam, aku hanya bisa mendengar detak jantungku yang memompa darah panas ke sekujur tubuhku. Katanya di tiap hentakan, 'Sial! Sial! Sial!' dan kepalaku berdenyut nyeri tiap kali.

Sejurus kemudian, aku hanya bisa menghela napas tak tuntas dan berkata lirih, "Aku ingin menemuinya. Tidak, Dwi Sena, aku harus menemui perempuan itu! Secantik apakah ia hingga engkau, Tuanku, mampu lupa tentang pinanganku atasmu? Semenggemaskan apa gadis itu? Apa ia belia? Apa ia dewasa? Kenapa kau tampak sumringah sekali dan mengistmewakannya bagai piala? Harusnya ia hanya cawan, Dwi Sena!" tanpa kuperhitungkan, tanpa kusadari dan kupikirkan, seluruh jeritan kepalaku meluncur lewat lidahku yang sempat kelu. AKu yakin mukaku memerah, Dwi Sena. Aku yakin rona merahnya bukan rona merah yang dulu sering kau olok-olok bagai kepiting rebus atau stroberi ranum. Aku yakin aku hanya terlihat seperti konco-konconya iblis dibanding titisan Hawa saat ini. Lalu kau... sementara kau... bibirmu hanya mengatup, dan berlalu.

Malam itu aku berjanji, atas nama panji-panji hati yang tak mungkin memaafkan pengkhianatan, aku berjanji akan membawa ribuan korek api dari sumur dan membakar gadis desamu sampai jadi debu. As*u!

Sayati, 11 Januari 2019 | ditulis saat meresapi perempuan yang mengasihi sebuah tembok

Potret DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang