04

3K 371 29
                                    

Malam tiba dengan sangat cepat. Haechan baru keluar dari kamar mandi setelah berendam 2 jam lamanya sembari melamun.

Karena tidak tamat dan hanya membaca sampai halaman 6, Haechan tidak tahu jika ternyata pernikahan untuk memperkuat status ayah Donghyuck di kabinet kerajaan juga bersamaan dengan adanya ritual adat. Membaca sinopsispun tidak.

Jadi intinya, ritual adat untuk pemanggil hujan dia terpilih begitu juga keuntungan untuk ayahnya yang juga bisa memperkuat statusnya didalam istana.

Sekali tembak dua tiga tujuan terlampaui. Hebat. Haechan akui hidup didalam istana memang enak, semuanya dipersiapkan tanpa harus repot-repot mengerjakan sendiri. Namun bebannya juga tidak main-main.

Sekarang yang menjadi masalahnya adalah, bagaimana caranya dia menghindari ritual hujan tapi tetap mendatangkan hujan. Haechan tentu saja lupa pelajaran menengah atasnya. Sedari tadi keningnya berkerut dalam untuk mengingat cara memanggil hujan.

"Ya kalau di desa panggil saja kodok hujan. Kalau secara ilmiah bisa dilakukan semacam.." Haechan menggaruk pipinya kasar, "aih, semacam apa?"

Dia berdecak kesal. Mana mungkin Haechan ingat materi saat sekolah dulu. Apalagi ketika kuliah dia banting setir ke jurusan ekonomi bisnis.

Tentu saja langsung tenggelam bersamaan dengan materi kuliah yang baru masuk.

Matanya menatap futon besar dengan dua bantal bersisian. Haechan kembali menggaruk pipinya yang tidak gatal sama sekali.

Belum ada tanda-tanda sang raja akan berkunjung. Baguslah, lebih baik seperti itu dan dia aman. Haechan membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar sambil berpikir keras.

"Kekeringan berarti tanah tandus. Kalau tandus berarti jarang ada pohon. Dan kalaupun tidak hujan berarti cuaca sedang kemarau. Kemarau panjang." Kepalanya mengangguk pelan.

"Kalau begitu, apakah harus menanam pohon supaya subur?" Keningnya langsung mengernyit. "Lah, kan tanahnya tandus bodoh, air darimana ingin menanam pohon." Gerutunya sebal sendiri.

Haechan terus berpikir keras sampai melamun hingga tidak sadar jika pintu kamarnya bergeser. Menampilkan seorang lelaki muda yang gagah dengan baju tidur putih tanpa baju perlambang status.

Mata tajam itu menatap sang selir yang sedang melamun dengan kening berkerut dalam dan sesekali menggerutu pelan.

Sang raja terkekeh tanpa suara. Selirnya yang sekarang berbeda sekali dan ia akui lebih senang yang sekarang. Langkahnya ia bawa untuk duduk disisi sang selir.

"..berarti cara selanjutnya adalah membuat hujan buatan. Tapi di zaman sekarang mana ada medianya. Yang ada mereka malah percaya dengan hal mistis."

"Bagaimana itu hujan buatan?" Tanya sang raja.

Haechan yang masih melamun menghela napas, "sama seperti ritual. Dibanding memanggil hujan dengan bersetubuh begini lebih baik pikirkan cara ilmiah. Kekeringan berarti jarang adanya pohon. Dan jika hujan nanti datang pasti kemungkinan besar akan adanya banjir atau longsor. Jika bisa danau atau sungai harus masih dialiri air supaya terjadi penguapan air. Nantinya akan menjadi uap naik ke atmosfer bumi membentuk gumpalan awan baru setelah itu hujan. Mumpung panasnya seperti neraka, jadi penguapannya akan lebih cepat." Jawabnya santai.

Sekian detik Haechan melotot dan menoleh kearah kanan. Disana sang raja sedang tersenyum tampan dengan kepalanya sedikit menunduk melihatnya.

Haechan langsung bangun dan menjauh. Dia menggaruk kepala belakangnya canggung.

"Maaf, Yang Mulia. Saya tidak tahu anda sudah berada didalam kamar."

Si raja hanya tertawa ringan sebari menggeleng. "Bukan masalah, justru aku tertarik dengan ucapanmu tadi. Coba lanjutkan." Katanya lalu menyila santai.

Selir LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang