01 | Selfish Decision

150 45 22
                                    

DENGAN sebuket bunga aster putih di tangannya, Cecilia berjalan keluar dari kawasan perumahan elit menuju trotoar jalan raya untuk menunggu taksi pesanannya.

Saat sedang asyik menghirup aroma bunga aster putih yang harum pemberian dari kliennya, ponsel di saku blazernya bergetar. Itu adalah panggilan dari Ibunya. Seakan tahu apa yang akan Ibunya suruh kali ini, Cecilia menghela napasnya dengan jengah.

"Ada apa, Ibu?"

"Kau sekarang ada di mana?" Ibunya balik bertanya.

Wanita muda itu tampak melihat sekitar dan berkata, "Aku baru saja pulang dari rumah klienku, dan sekarang sedang menunggu taksi untuk pulang. Memangnya ada apa?" Cecilia bertanya lagi.

"Jangan dulu pulang ke rumah. Pergilah ke kediaman Salvatore, mereka mengundang kita untuk makan malam satu jam lagi," kata Ibunya dengan nada tegas.

Cecilia menipiskan bibirnya. "Baiklah, Ibu," jawabnya.

Saat panggilan terputus, Cecilia memandang langit sore yang semakin gelap. Rambut hitam sepunggung yang bergelombang itu tertiup angin sore, memancarkan aura manis karena menghalangi mata bulat dan bulu mata lentiknya yang indah.

Padahal Ia sudah sangat lelah, setelah seharian ini melayani kliennya di salah satu perumahan elit, untuk menentukan konsep gaun kliennya yang akan melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, menolak permintaan sang Ibu akan membuatnya lebih lelah karena menghabiskan energi dalam perdebatan.

Saat taksi pesanannya sudah tiba, Cecilia segera masuk dan memberitahu sopir taksi tentang pergantian alamat yang dituju.

***

Sesampainya di kediaman keluarga Salvatore yang megah, Cecilia langsung disambut oleh beberapa asisten rumah tangga. Mereka membantu membawakan tas dan melepaskan blazernya yang menutupi dress selutut berwarna biru tua.

Sang Ibu ternyata sudah lebih dulu tiba saat Ibunya menghampiri dirinya dengan senyuman lebar. "Aku tahu kau tidak akan menolak," wanita tua itu berucap dengan penuh bangga.

Cecilia memberikan setengah senyum. "Memangnya aku diberi kesempatan untuk menolak?"

Tanpa rasa bersalah, Ibunya malah tertawa sebelum melirik sebuket bunga yang masih setia di tangan Cecilia. "Ini dari siapa?"

"Hadiah dari klienku. Dia seorang wanita cantik pemilik toko bunga terbaik di Boston," ungkapnya.

"Dia sangat baik padamu, aku turut senang," ujar Ibunya.

Cecilia mengangguk membenarkan. Biar bagaimana pun, mereka berdua tetaplah pasangan Ibu dan anak yang tidak luput dari interaksi manis yang kecil.

Tak lama kemudian, pemilik rumah yaitu Laurence Salvatore datang menghampiri keduanya dan mengajak mereka untuk ikut bergabung ke ruang makan. Di sana sudah terdapat Ayah Cecilia, Adam Salvatore–sebagai kepala keluarga di rumah itu–, Leone Salvatore–anak sulung– bersama istrinya, Sofia Salvatore, dan si bungsu Damien Salvatore, yaitu pria yang dijodohkan dengan Cecilia.

Saat makan malam, semua orang yang hadir terlihat gembira dan bersukacita, termasuk Damien. Hanya Cecilia seorang yang merasa tak nyaman dengan pembahasan mereka. Kedua pihak keluarga terus membicarakan hubungannya dengan Damien yang menurut mereka terlihat harmonis. Padahal kenyataannya, Ia bahkan sudah tak kenal dekat dengan pria bermata hijau itu.

Itu semua berawal dari undangan ulang tahun perusahaan Salvatore Shell ke-65 tahun pada seluruh perusahaan listrik dan minyak yang ada di Massachusetts. Salah satunya yang hadir ialah perusahaan Smink Company milik keluarga Cecilia yang bergerak di bidang listrik.

HAVOC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang