6. Perang Dingin

1 0 0
                                    

Setelah buku sudah berada di tangan, mereka berdua berjalan keluar perpustakaan. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, Angga terus menatap Intan yang berjalan di sampingnya. Cewek itu beda penampilannya saat SMA dengan sekarang. Waktu SMA cewek itu begitu tomboy, lebih suka bergaul bersama cowok dan bahkan suka bermain sepak bola di kelas. Rambutnya pun dicukur pendek hingga sekitar 5 cm. Tetapi sekarang sangat jauh berbeda. Berbanding terbalik dari keadaan. Sekarang Intan berpenampilan feminim dengan memakai rok selutut. Rambutnya terurai sebahu, tak lupa bando warna pink ia pakai.

Padahal jika di pikir-pikir, mereka terakhir bertemu empat bulan lalu, saat perpisahan sekolah. Angga tak habis pikir. Secepat itukah perubahan Intan?

"Angga, ayo naik motor." Lamunan Angga buyar ketika ia melihat Intan yang sudah berada di samping motornya. Tangannya melambai tepat di depan wajah Angga. "Kok malah ngelamun."

"Eh, he he he. Habis kamu berubah banget, sih."

"Berubah apanya?"

"Dulu suka banget main bola, penampilan tomboy, rambut aja pendek. Sekarang kok bisa beda gini, kan aku jadi heran."

"Ya aku pengen nyoba gaya baru aja, bosen lama-lama pendek rambutnya."

"Oh..." balas Angga sekilas.

Angga menaiki motor dan tak lupa Intan mengikutinya. Sebelum balik ke kelas, Angga mengajak Intan untuk makan siang bersama. Intan tidak menolak bahkan dia merasa senang. Angga melirik jam tangannya, masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum kelas dimulai. Angga memesan makanan untuknya dan untuk Intan ketika sampai di sebuah warung.

"Sorry ya tan, aku hanya ajak kamu makan di warung," kata Angga ketika mereka berdua sudah duduk berhadapan. Suasana warung begitu ramai. Mungkin letaknya yang strategis, berada diantara tiga Fakultas.

"Santai aja kali, aku malah suka. Jarang-jarang lho ada cowok yang ajak aku makan siang," kata Intan tersebut membuat Angga tersenyum sumringah.

"Memangnya kamu sampai saat ini nggak punya pacar?" tanya Angga, dengan tatapan penasaran.

"Enggak." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Intan.

"Wah bisa sama ya. Dulu kelas kita sama waktu SMA, hobinya juga sama suka ke perpustakaan, kampus juga sama, status juga sama masih single." Mereka berdua tertawa terbahak-bahak membahas kesamaan mereka hingga makanan sudah datang diantar oleh pemilik warung. Mereka memakan makanan masing-masing tanpa ada suara. Setelah semua sudah habis dilahap, Angga berdiri membayar makanannya. Tak lupa makanan Intan juga dibayarkan.

"Eh ini aku bayar sendiri aja," kata Intan sambil menyodorkan uang kepada pemilik warung.

"Udah nggak usah Tan, biar aku aja yang bayar. Sekali-kali gak apa-apa kan?" jawab Angga. tak lupa seulas senyum terukir di wajahnya.

"Makasih ya." Intan tersenyum dan memasukkan uangnya ke dalam tas.

Mereka bergegas keluar warung makan tersebut setelah menyadari kelas akan dimulai lima menit lagi. Angga terlebih dahulu mengantarkan Intan ke Fakultasnya, setelah itu baru dia menuju ke Fakultasnya yang hanya berjarak lima ratus kilometer.

Dengan tergesa-gesa Angga berjalan menuju kelasnya setelah memarkirkan motornya di tempat parkir. Syukur dan lega, itulah perasaan Angga saat ini. Bagaimana tidak? Koridor menuju kelas masih ramai. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju kelas dengan berjalan lebih santai.

"Weleh-weleh, senyum sendiri aja nih bro." Sebuah tangan menepuk pundak Angga, membuatnya menghentikan langkah.

Angga menoleh ke samping, "Duh kamu bikin aku jantungan aja." Angga pun hanya mengelus dada, ternyata orang yang mengagetkannya itu adalah Vian.

SEMUT-SEMUT BESARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang