Bab 6 - Pria Lugu yang Kejam

1 1 0
                                    

Wajah kedua orang yang baru saja kembali dari hutan ini tampak pucat kelelahan. Meskipun akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan Kiana dan Leon membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai ke rumah.

"Kiana kau bilang tahu jalan, tapi sampai sore hari, baru kita bisa sampai rumah." Keluh Leon dengan wajah pucat, karena tidak sedikit binatang melata yang mereka berdua temui di jalan.

"Kau gila, seandainya kita tidak berpindah tempat sampai di jalur sungai. Kita tidak akan berakhir seperti sekarang." Kiana berucap terengah-engah, rambutnya yang terikat sudah berantakan dipenuhi oleh daun-daun kering dan ranting.

"Tapi, kalo aku tidak ke sungai aku tidak akan tahan dengan bau-bau darah itu." Protes Leon.

Mereka berakhi ribut mempermasalahkan siapa yang salah. Tidak sadar jika di depan pintu rumah ada ayah dan ibu Kiana yang sedang menunggu kedatangan mereka.

"Ke mana saja kalian berdua?" ayah Kiana menatap horor kedua anak muda berbeda jenis kelamin itu.

"Huwaaa! Ayah, Ibu. Aku senang masih bisa melihat kalian." Kiana menangis langsung berlari memeluk kedua orang tuanya senang sekaligus haru, ia tidak menyangka dirinya masih hidup sampai sekarang.

"Apa yang sudah terjadi?" tanya ibu Kiana langsung merasa khawatir.

"Tadi kami diserang oleh beruang raksasa." Kiana menyeka air matanya, sambil menatap kedua orang tuanya seperti anak kecil, padahal tinggi badannya sama dengan ibunya.

"Kalian tidak terluka, kan?" ibu yang khawatir memperhatikan tubuh anak-anaknya, memastikan tidak ada yang terluka.

"Kami berdua baik-baik saja, kok." Ucap Kiana masih terharu.

Leon hanya diam saja baju pria itu jika diperhatikan terlihat ada bercak-bercak samar bekas darah. Leon membersihkan bajunya yang bersimbah darah di sungai, makanya ia membawa Kiana yang tidak sadarkan diri ke sana juga.

"Kau juga tidak apa-apa, kan Leon?" tanya ibu Kiana, khawatir pada Leon seperti anaknya juga.

"Aman kok, bu. Aku tidak terluka." Leon tersenyum senang.

"Leon yang menyelamatkan Kiana," ujar Kiana.

"Ayah senang kalian berdua selamat." Ayah memeluk Leon dan Kiana secara bersamaan.

"Ayah, Ibu. Ada yang Kiana ingin beritahukan." Kemudian ayah dan ibu Kiana mendekatkan telinganya ke mulut Kiana.

Kemudian mereka berdua tampak terkejut sembari menatapi Leon, yang hanya diam saja sedari tadi.

"Terima kasih, Nak. Sudah  menjaga Kiana." Ayah Kiana menepuk pundak Leon.

"Uum, aku rasa itu adalah kewajibanku untuk menjaga Kiana." Leon tersenyum senang, ia merasa berguna.

"Lain kali berhati-hatilah jika ke hutan."

"Lagi apes kita tadi." Kiana berucap santai kepada kedua orang tuanya.

"Ayo siap-siap makan malam." Ajak ibu. Mereka berempat pun memasuki rumah. Leon merasa senang dengan kehangatan keluarga itu, ia merasa belum pernah merasakan kedekatan seperti itu sebelumnya dan ia menikmatinya.
.
.
.
Hari sudah berganti, yang kemarin telah berlalu. Kiana dan Leon tidak begitu memikirkan kejadian yang telah terjadi di tengah hutan kala itu.

"Nah sekarang kau sudah tau banyak hal." Ucap Kiana hari itu duduk di ruang tamunya, setelah mengajari Leon hal-hal yang tidak begitu dimengertinya.

"Iya, aku mengerti. Terima kasih Kiana." Leon mengangguk.

"Baiklah, aku pergi dulu."

"Mau ke mana?" tanya Leon.

"Aku ada urusan kerjaan dengan Rachel." Ucap Kiana santai.

"Ke kota?"

"Yaps!"

"Aku ikut." Leon langsung berdiri semangat.

"Kau bantu Ayah dan Ibu saja." Keluh Kiana, ia hanya ingin berduaan dengan Rachel hari ini, karena terus bersama Leon, Kiana tidak punya banyak waktu untuk berhubungan dengan Rachel.

"Tapi, aku sudah berjanji untuk menjaga Kiana." Ujar Leon polos.

"Oh ayolah Leon, kau peka dikit kenapa sih."

"Aku, kan juga ingin perhatianmu."

Terang-terangan sekali.
.
.
.

"Jadi dia ikut?" tanya Rachel tidak senang.

"Memangnya kenapa?" ketus Leon.

"Sudahlah, jangan pikirkan dia. Anggap saja dia tidak ada." Ucap Kiana tidak perduli lagi. Dilarang seperti apa pun, Leon tetap membuntuti dirinya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Leon takjub menatap keramaian kota, seolah-olah itu adalah pertama kali untuknya. Leon tampak begitu lugu seperti anak kecil saat melalui jalan besar di sana, Kiana hanya memperhatikan tingkah Leon yang sedari tadi diam menatap takjub gedung-gedung tinggi.

Kemudian mereka bertiga berkeliling, dengan berjalan kaki, sembari menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan untuk mereka.

Namun, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. "Ada apa sebenarnya ini?" tanya Rachel bingung.

Leon hanya diam menatapi langit siang itu, Kiana merasa tidak enak dengan keadaan.

BLAR!

DUAR!

Petir menyambar dan membuat ledakan dahsyat tidak jauh dari mereka. Semua orang berlari ketakutan. Kiana terdiam tidak bergerak, kakinya bergetar ketakutan. Di saat-saat genting seperti itu, ia malah mengingat traumanya di masa lalu.

Namun kali ini berbeda, kedua tangan Kiana ada yang menariknya sehingga sekarang ia tidak sendirian.

"Ayo cari tempat berlindung," ucap Rachel.

"Kita harus pergi secepatnya dari tempat ini." Ujar Leon, mereka berdua berucap secara bersamaan. Namun karena Kiana yang ketakutan akhirnya  mereka mencari tempat berlindung—untuk menenangkan Kiana.

Berada di tempat itu, tidaklah aman sama sekali. Monster-monster dari gerbang Dungeon yang tiba-tiba muncul menjadi banyak. Sedangkan esper yang dikerahkan, hanya sedikit.

Salah satu dari monster itu menghancurkan tempat perlindungan Leon, Rachel, dan Kiana. Membuat ketiganya panik, tetapi Leon berani pasang badan dan memikirkan cara untuk bertarung walaupun ia juga tidak begitu mengerti.

Lawan dia dengan angin. Leon mendengar suara tidak asing lagi, kemudian Leon berkonsentrasi mengeluarkan kekuatan angin dan membuat tameng dengan angin itu, sehingga petir yang menghantam mereka bertiga terpental.

"Di-dia esper?!" Rachel yang tidak tahu tampak sangat terkejut.

"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan?!" Leon malah panik sendiri ia tidak tahu cara menyerang dengan kekuatannya, ia malah mendapat luka karena serangan dari monster berupa burung petir itu sempat mengenai dirinya. Ayo, bertukar.

DEG!

Suara tidak asing itu membuat Leon kehilangan kesadarannya seolah-olah ada yang menarik dirinya ke dalam kegelapan, dan tidak ingat dengan apa yang terjadi setelahnya.

Kiana dan Rachel yang melihat Leon menggila ketika menyerang monster petir di hadapannya membuat, mereka berdua merinding ngeri. Bukannya langsung menghabisi monster itu, Leon malah memotong-motongnya dengan sadis dengan kemampuan anginnya.

"Hahahaha!" Leon tertawa seram, sambil terus mencabik-cabik monster itu dengan kasar. Sehingga monster itu berteriak kesakitan, namun Leon tidak memberinya ampun sama sekali.

Setelah selesai Leon dengan wajah datarnya mengelap bercak darah yang ada di wajahnya secara kasar, sembari berbalik menatapi Rachel dan Kiana yang merinding ketakutan.

Leon terus berjalan maju, mendatangi Kiana dan Rachel yang saling merangkul satu sama lain.

Takdir Cinta Sang EsperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang