Makan malam hari ini cukup canggung, mungkin yang merasakan seperti itu hanya Gibran, perutnya mendadak mules karena aura mencekam di meja makan.
Resta makan dengan tenang dan terasa penuh wibawa, Alex makan dengan rapi setelah Resta memotongkan daging steaknya, sementara Gevan tidak hadir karena panggilan mendadak dari rumah sakit.
Paling menyeramkan adalah Gerlan, meski pria itu sedari tadi hanya diam, tak hayal tatapan Gerlan semakin membuat perut Gibran mules.
"Hiks ... Mama, mau pulang," batin Gibran nelangsa.
Tak!
Gibran tak sengaja membenturkan garpunya dengan keras, niat hati ingin menusuk daging steak malah meleset karena ia menunduk dari tadi.
Resta, Alex sontak menghentikan acara makannya sedang Gerlan menatap Gibran dengan tangan bergetar pelan.
Gerlan memang sedikit takut pada Gibran, pukulan abangnya tak main-main, dan tentu saja Gerlan masih gemetar ketika abangnya terlihat marah.
Gibran melirik ketiganya yang ketakutan, rasa bersalah muncul, ia hendak meminta maaf, tapi jika ia buka suara, mereka malah lebih ketakutan.
"Aku harus gimana? Mereka ketakutan ... Mana Gevan gak ada di rumah lagi," batin Gibran lagi.
Resta meneguk ludah, apa menu makan malam ini tak enak? Ia yang memasak makan malam kali ini, sebagai bentuk sambutan untuk Gibran yang baru saja keluar dari rumah sakit.
"Maaf ..." cicit Gibran separuh gugup.
Resta, Alex, dan Gerlan kompak mengernyit, tak percaya bahwa telinga mereka baru saja menangkap suara Gibran yang meminta maaf.
"Makanannya gak enak ya, Bang? Resta gant—"
"Eh? Enak kok, tangan Abang kaku tadi," sela Gibran agak panik.
Resta, dan kedua saudaranya dibuat terkejut lagi. Satu hal yang mereka yakini, Gibran berubah.
"Em, kalau gitu biar Resta suapin Abang," tawar Resta. Terdengar berani untuk seorang yang sudah tahu kepribadian Gibran.
Gibran berbinar senang, setidaknya ada dari keempat adiknya yang peduli.
"Mau! Mau!" serunya semangat.
Gerlan menjatuhkan garpunya, mata tajamnya membulat tak percaya, Alex mencubit-cubit tangannya memastikan bahwa ia tak bermimpi.
"Apa amnesia merubah sifat seseorang? Atau jangan-jangan apa yang dikatakan Bang Alex benar, apa Bang Gibran punya penyakit kronis dan mau mati makanya Bang Gibran berubah?" batin Resta sendu.
"Ekhm." Gerlan berdehem, atensi tertuju langsung padanya.
Gibran mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya 'ada apa?'
"Abang tidak menyembunyikan apapun dari kami 'kan?" Suara Gerlan terdengar sopan.
Gibran meneguk ludah, apa Gerlan sadar bahwa ia berubah drastis, dan sudah curiga bahwa ia bukan Gibran asli?
"E-enggak. Abang gak sembunyiin apapun kok!" Gibran gugup, apalagi melihat Resta sudah menatap dirinya dengan tajam.
"Abang berubah." Alex menyahuti tanpa menatap Gibran, ia sengaja berbicara tanpa menatap sang abang, karena Gibran asli tidak suka ketika orang berbicara dengannya tapi tidak menatap dirinya.
"Masih sama kok!" Gibran berseru, dalam hati sudah mengabsen nama-nama binatang.
"Apa Abang berubah karena punya penyakit kronis dan hidupnya tinggal beberapa bulan lagi?" batin Alex sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertukar Jiwa
Teen FictionRasanya seperti mimpi, anak sulung yang disayang dan memanjakan adiknya harus menggantikan peran sulung otoriter yang ditakuti adiknya sendiri. ⚠︎ 𝗣𝗘𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗡 ⚠︎ ➢ 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔 𝗕𝗢𝗬𝗦𝗟𝗢𝗩𝗘 ‼️ ➢ 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗧𝗔...