"Sampaikan pada jiwa yang bersedih."
"Begitu dingin dunia yang kau huni."
Suara Alex mengalun merdu terdengar di ruang musik yang hening, tanpa menyadari bahwa sahabatnya sudah datang sejak 2 menit yang lalu, tetapi memilih diam untuk mendengar suara emas Alex.
"Jika tak ada tempatmu kembali."
Elang langsung menyela saat merasa suara Alex bergetar.
"Bawa lukamu biar aku obati."
Senar gitar milik Alex berhenti ketika mendengar sahabatnya melanjutkan lirik lagu yang tengah ia nyanyikan. Elang duduk di samping Alex sembari mengambil gitar si empu yang hanya diam tanpa protes.
"Tidak kah letih kakimu berlari."
"Ada hal yang tak mereka mengerti."
"Beri waktu 'tuk bersandar sebentar."
"Selama ini kau hebat."
"Hanya kau tak didengar."
"Udah ah, gak hafal," ujar Elang sembari menatap Alex dengan senyum tipis.
"Dari mana, El?" tanya Alex basa basi.
"Habis merenung. Btw, gue mau curhat." Elang menjawab, suaranya stabil tak ada tanda-tanda habis menangis atau semacamnya.
"Iya, cerita aja, gue dengerin." Alex membalas, beralih menghadapkan tubuhnya ke Elang.
"Jadi sebulan yang lalu, tepat pas lu ngabarin gue kalau bang Gibran siuman, ada yang aneh sam—"
Tiba-tiba pintu ruang musik dibuka, membuat Elang langsung menghentikan ucapannya, keduanya secara kompak menatap pintu. Seorang siswa berdiri di sana dengan napas terengah, dari gelagatnya seperti ingin memberitahu sesuatu pada Elang dan Alex.
"Ada apa?" tanya Elang terheran-heran.
"Lapangan basket ricuh, Arka sama gengnya minta lu dateng ke sana!" jawab siswa itu.
Alex berdecak, bukan sekali dua kali Arka menantangnya, hal ini terus terjadi karena bocah bernama Arka itu tak terima Alex merebut perhatian murid-murid di sini.
"Ga usah diladenin." Elang yang membalas, suaranya tenang, tetapi tatapannya berubah menjadi serius.
"Tapi, El, lu 'kan tau sendiri gimana tabiat Arka?" Alex tak bisa membiarkan Arka terus mengusiknya, jadi hari ini dia ingin memberi pelajaran pada Arka.
Sebelum Elang kembali melarang Alex, remaja itu lebih dulu keluar dari ruang musik.
"Alex, please lah!"
"Gue janji setelah ini gak bakal ngeladenin dia lagi!" seru Alex, remaja itu cepat sekali mencapai lapangan basket.
"Ini dia pengecutnya!" Teriakan Arka kembali meriuhkan lapangan basket yang sempat hening.
"Lu yang pengecut, anj!" Elang yang membalas dengan emosi sedang Alex masih tenang di depannya.
"Kalah mah terima aja, malah nantang lagi, entar kalah tambah malu yang ada!!" sindir Elang. Alex hampir tertawa karena itu, sedangkan Arka sudah kebakar jenggot di hadapannya.
"Mau tanding apa? Basket lagi?" tanya Alex yang ingin cepat-cepat menyelesaikan ini.
"Basket? Haha! Naif banget sih lu, lu pikir gue nantang lu dengan bawa banyak orang gini cuma buat nantang lu adu basket?" Arka tersenyum miring. Di belakangnya puluhan anak buah Arka sudah siap beradu otot.
"Yang bener aja, Al! Dua lawan berapa puluh orang ini, anj! Udah pasti kalah, bangsat!!" Elang menarik Alex mundur dengan segera.
"Kalau lu lari, lu beneran pengecut, Alex!" Arka berteriak lantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertukar Jiwa
Teen FictionRasanya seperti mimpi, anak sulung yang disayang dan memanjakan adiknya harus menggantikan peran sulung otoriter yang ditakuti adiknya sendiri. ⚠︎ 𝗣𝗘𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗡 ⚠︎ ➢ 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔 𝗕𝗢𝗬𝗦𝗟𝗢𝗩𝗘 ‼️ ➢ 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗧𝗔...