Gerlan masih tertidur lelap meskipun jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Panggilan Gevan seperti tak sampai ke telinga Gerlan, padahal masakan Resta sudah mendingin sejak ditinggal pembuatnya 3 jam yang lalu, tersisa Gibran yang asik menonton TV sembari memakan pudingnya.
Masalah password kemarin membuat Gibran enggan berkerja, itu pun tak dipermasalahkan Gerlan yang mengambil alih perusahaan sementara.
Kemarin malam Gerlan harus menyelesaikan pekerjaan Gibran agar tak terlalu menumpuk, alhasil ia baru tidur pukul 5 tadi. Untuk masalah pekerjaan Gibran hari ini, Juna sudah mengaturnya.
"Gevan, biarin Gerlan bobok dulu, kemarin 'kan dia lembur," celetuk Gibran yang lelah mendengar teriakan Gevan.
"Abang diem aja deh. Gerlan kalau gak dibangunin sekarang, entar malah sakit," balas Gevan dengan logat khas emak-emak.
Gibran kembali diam sembari menghabiskan pudingnya.
Tak lama, Gerlan turun dengan muka bantalnya, wajahnya terlihat lelah. Pria 23 tahun itu tanpa berkata apa-apa langsung menempatkan diri di samping Gibran.
Gibran menatapnya cukup lama, dahinya berkerut, jelas pria itu sedang berpikir sesuatu dengan menatap Gerlan. Gerlan menyadarinya tetapi abai, dan memilih bersandar di bahu sang Abang.
Gevan beranjak dari tempatnya menuju dapur, mengambilkan sarapan serta susu untuk Gerlan, tak lupa cemilan untuk Gibran.
"Besok Abang kerja, kamu fokus kuliah aja," ujar Gibran sembari mengalihkan atensinya dari Gerlan.
Puding cokelat kembali disuapkan ke mulut, netra legamnya terfokus pada tayangan berita di TV. Gerlan yang merasa suasana hati Abangnya berubah pun mencoba membuka topik pembicaraan.
"Abang."
"Hm?" Gibran hanya berdehem, tanpa mengalihkan fokusnya dari televisi.
"Gerlan gak keberatan buat kuliah sambil bantu Abang kerja," ucap Gerlan, terdengar semakin lirih karena pria itu mendusel di bahu sang Abang.
"Hm."
"Kenapa Abang terlihat marah?" tanya Gerlan heran.
"Tidak."
Gerlan diam, ini seperti ia berhadapan dengan Gibran sebelum amnesia.
"Gerlan, sarapan." Gevan meletakkan sepiring nasi goreng di pangkuan Gerlan, kemudian menaruh 2 gelas susu di meja, lantas duduk di sofa single.
"Makan sarapanmu, Lan." Gibran kembali berkata tanpa menatap Gerlan. Pria itu memilih agak menjauh dari Gibran, memakan sarapannya dengan kepala tertunduk, mood berantakan karena Gibran bertindak seperti mengabaikan dirinya.
"Uhuk uhuk ..." Gerlan terbatuk, sendoknya terjatuh sehingga mengalihkan seluruh atensi menuju padanya.
"Ger." Gevan yang lebih dulu mendekat, kembaran Gerlan itu langsung berjongkok di depan Gerlan.
"Minum," ujar Gevan sembari menyodorkan segelas susu milik Gerlan. Gerlan tak protes, ia segera meminum susunya hingga dirasa sudah lega.
"Jangan makan sembari melamun." Gibran berucap dengan datar, tatapannya tajam meski tersirat khawatir.
"Hm." Gerlan hanya berdehem. Sungguh, ia tak tahu kenapa moodnya tak jelas seperti ini.
Gevan mengamati kedua saudaranya dengan mata memicing, seolah tau, ia segera berdiri kemudian meraih tasnya yang berada di sofa.
"Gue mau berangkat kuliah, jangan bertengkar." Gevan berlalu begitu saja tanpa menengok ke Gibran dan Gerlan.
Gerlan yang merasa ditinggal pun menyudahi sarapannya. Gibran masih menatap pergerakannya dengan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertukar Jiwa
Teen FictionRasanya seperti mimpi, anak sulung yang disayang dan memanjakan adiknya harus menggantikan peran sulung otoriter yang ditakuti adiknya sendiri. ⚠︎ 𝗣𝗘𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗡 ⚠︎ ➢ 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔 𝗕𝗢𝗬𝗦𝗟𝗢𝗩𝗘 ‼️ ➢ 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗧𝗔...