Afdan terbangun dengan menyadari bahwa ia berada di rumah sakit, tubuhnya terasa nyeri, apalagi kakinya, Afdan berusaha untuk tetap tenang meskipun tak mendapati kehadiran Zahra, Arlan, Adnan, maupun Elang di sampingnya.
"Mama? Papa?" panggilnya lirih dengan suara serak. Afdan sedikit terkejut mendengar suaranya berubah lebih dalam dari biasanya. Kemana suara laki-laki yang imut miliknya? Kenapa suaranya sekarang terdengar seperti lebih dominan?
"Mama? Papa?" Afdan memanggil lagi tapi tak kunjung mendapat balasan. Atensinya menuju ke sofa, ia yakin dirinya dirawat di ruang VVIP, kamar lengkap dengan kamar mandi dan sofa.
Sayangnya yang Afdan lihat bukanlah Papanya, Mamanya, Adnan, apalagi Elang. Mereka berempat tak ada di sana. Di sofa hanya ada 3 laki-laki dengan usia berbeda.
Pintu ruang rawatnya terbuka, menampilkan seorang pria dengan sneli putih bersih terpasang apik di badannya yang tinggi.
"Abang!" Pria itu berseru sembari mendekati brankar.
"Abang bisa lihat aku?" Afdan mengangguk lemah, suaranya seperti sudah habis hanya untuk memanggil Zahra dan Arlan.
"Ada yang sakit?" tanya pria itu lagi, Afdan menatapnya agak kesal, ia susah berbicara sekarang, dan pria ini malah datang membawa banyak pertanyaan.
"Ka...ki" Lirih, pelan, dan terbata, begitulah jawaban Afdan terdengar.
"Tidak apa, itu wajar, kaki Abang patah karena kecelakaan."
Afdan mengernyit, bukankah ia hanya tertidur di sofa setelah berdebat dengan Adnan? Kenapa tiba-tiba ia dikatakan kecelakaan?
"Kamu siapa?" tanya Afdan dengan suara lebih lirih.
Ia haus, tidakkah pria di depannya ini peka?
"Minum dulu, Bang." Pria itu membantu Afdan minum, bahkan minum saja membuat Afdan serasa terlahir kembali.
"Kamu siapa?" Kali ini pertanyaan Afdan terdengar lebih jelas, laki-laki di depannya itu terbelalak kaget.
"Abang tidak ingat aku?" tanya pria itu. Afdan menggeleng, ia bahkan tak pernah bertemu dengan laki-laki ini.
"Harusnya efek benturan itu tak sampai membuat Abang amnesia," gumam laki-laki itu.
"Aku tidak amnesia," ujar Afdan tak terima.
"Abang ingat nama Abang?" Afdan mengangguk, tentu ia ingat siapa namanya.
"Afdan Rachel Pradipta. Kamu siapa?" Laki-laki bernama Gevan itu menghela nafas kemudian duduk di kursi samping brankar.
"Siapa nama orang yang Abang ingat itu? Nama Abang, Sagavilo Gibran dengan marga Affandra." Afdan mengernyit tak mengerti, kenapa namanya diubah-ubah?
"Apa Abang mengalami krisis identitas?"
"Hey, aku bertanya kamu siapa? Bukankah kamu dokter? Kenapa memanggilku dengan sebutan abang?" heran Afdan, tatapannya lekat pada bola mata Gevan.
"Aku, Gevan Xander Affandra. Adik kedua, putra ketiga dari pasangan Revan Affandra dan Nindy, kedua orang tua kita sudah meninggal 9 tahun yang lalu. Aku adikmu," jelas Gevan panjang. Afdan mengernyit, bukankah ia putra sulung dari Arlan dan Zahra dengan marga Pradipta?
"Hey, dokter. Siapa namaku?"
"Abang?" Gevan tampak bingung dan terkejut lagi, tapi kemudian ia menghela nafas.
"Nama Abang, Sagavilo Gibran Affandra, putra sulung dari pasangan Revan Affandra dan Nindy, kedua orang tua kita meninggal 9 tahun yang lalu. Abang punya 4 adik, aku adikmu yang kedua. Tunggu, aku bangunkan mereka dulu." Gevan menjeda kalimatnya, ia berdiri dan membangunkan 3 laki-laki di sofa tadi.
"Bangun, Abang siuman. Kalian tak mau menyapanya?"
Ketiga laki-laki itu menggeliat tak nyaman kemudian membuka mata mereka, yang paling tua menguap lama, terlihat dia yang paling lelah karena kantung matanya berwarna hitam.
"Cuci muka kalian dulu agar Abang tak marah," ucap Gevan pada ketiganya.
Menurut, ketiga laki-laki itu menuju kamar mandi dan kembali dengan wajah lebih segar.
Mereka berdiri di depan Afdan, Afdan menyadari bahwa tatapan mereka agak tidak suka padanya?
"Baik, biar ku perkenalkan, ini adalah Faresta Juan Affandra, dia adalah adik bungsu kita, usianya 12 tahun." Gevan mengacak rambut laki-laki yang disebut Faresta tadi, laki-laki ini sedikit lebih tinggi daripada yang berdiri di tengah.
Gevan kemudian merangkul laki-laki yang berdiri di tengah, "Ini Alexar Vhatan Affandra, adik ketiga Abang, serta putra keempat Ayah dan Bunda. Usianya 17 tahun."
Gevan beralih pada laki-laki terakhir yang tingginya hampir sama dengan Gevan, dokter muda itu merangkul pundaknya, "Dan ini adik tertuamu, juga kembaranku, Gerlan Xavier Affandra, putra kedua Ayah dan Bunda, usianya sama denganku, 23 tahun."
"Tunggu, kenapa dia lebih pendek dari si bungsu? Bukankah usianya lebih tua 5 tahun? Kenapa pendek sekali? Apa ia mengalami keterlambatan pertumbuhan atau semacamnya?" Gevan tak bisa menahan tawanya ketika Afdan menunjuk Alex dan Resta bergantian.
"Itu bukan salah Alex yang pendek, itu salah Resta karena tubuhnya mengikuti gen mendiang Ayah, tubuhnya memang tumbuh terlalu tinggi," ucap Gevan. Afdan mengangguk paham.
"Kenapa kau mengenalkan kami padanya? Bukankah dia sudah kenal kami?" Gerlan bertanya dengan sedikit sinis, jelas Afdan tahu Gerlan tak menyukainya.
"Abang amnesia, dia kehilangan ingatannya. Bahkan mengalami krisis identitas," jelas Gevan sembari menatap Gerlan.
"Permanen? Sementara?" Resta membuka suara, Gevan menatapnya dengan raut sedih.
"Mungkin sementara."
"Cih." Ketiganya kompak berdecih, Afdan memandang mereka dengan bingung.
"Kompak," gumam Afdan sembari tertawa kecil.
Afdan langsung diam ketika keempatnya menatap dengan Afdan dengan mengernyit.
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menertawakan kekompakan kalian. Hanya saja kalian terlihat lucu," ucap Afdan canggung.
"Abang berubah." Setelah mengatakan itu Resta keluar dari ruang inap, Afdan mengiyakan dalam hati, dia tahu, jiwanya tidak lagi berada di tubuh 'Afdan Rachel Pradipta'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertukar Jiwa
Roman pour AdolescentsRasanya seperti mimpi, anak sulung yang disayang dan memanjakan adiknya harus menggantikan peran sulung otoriter yang ditakuti adiknya sendiri. ⚠︎ 𝗣𝗘𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗡 ⚠︎ ➢ 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔 𝗕𝗢𝗬𝗦𝗟𝗢𝗩𝗘 ‼️ ➢ 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗧𝗔...