Setelah sarapan selesai, Gibran lantas menuju ruang kerja di lantai 2 rumah ini, tentu saja dengan dibopong oleh Gerlan. Kaki kirinya yang tak kunjung sembuh sempat membuat Gibran frustasi 7 hari 7 malam.
Setelah mengantar Gibran ke ruang kerjanya, Gerlan menyusul adik-adiknya ke ruang keluarga, sementara Gibran mulai mengutak-atik laptop Gibran asli, ditemani Juna yang setia berdiri di sebelahnya.
"Om Jun," panggil Gibran agak sungkan.
Juna terperanjat, sesegera mungkin menetralkan suaranya, dan menjawab, "Ya, Tuan?"
"Bisa bikinin Gibran kopi susu gak? Lagi pengen nih," ucap Gibran sembari cengengesan.
Juna tentu terkejut dengan perubahan drastis Gibran, meskipun beberapa kali menguping pembicaraan adik-adik Gibran yang membahas tentang perubahan sifat si sulung setelah mengalami amnesia, hingga dugaan bahwa Gibran terkena penyakit kronis yang bisa membunuhnya kapan saja.
"Ah, baik, Tuan. Saya akan buatkan."
Selepas Juna keluar ruangan, Gibran mengacak rambutnya dengan kasar. "Huwaaaa, ini gimana Afdan yang comel ini tidak diberi ingatan tentang password laptop, Gibran ori taii!!" umpat Gibran.
"Gue harus gimana? Masa' bilang ke Om Jun kalau gak inget password laptop, gue tahu kalau itu masuknya privasi tapi 'kan gue jadi Gibran sekarang," gumam Gibran lagi.
Besar kemungkinan keempat adik Gibran juga tidak tahu password laptop si sulung, apalagi laptop itu memang dikhususkan Gibran untuk berkerja, tak boleh ada yang menyentuh kecuali keadaan darurat.
Peraturan tidak tertulis inilah yang menjadi titik permasalahan untuk Gibran kw. Apa jangan-jangan karena Gibran kw alias Afdan berasal dari keluarga Pradipta, makanya Gibran ori tidak memberikan ingatan tentang isi laptop maupun password.
"Gue bobol ATM Papa aja kalau gini," ucapnya mulai ngawur.
"Tapi otak gue gak sepintar itu buat ngehack," gumam Gibran.
Dikira ia multifungsi apa? Eh multitalenta.
Dikira bisa apa aja, ngehack, lulus S3 di usia 17 tahun!! Heh! Afdan mana bisa nge-cheat.
"Tuan, ini kopi susu yang Anda minta." Juna datang dengan secangkir kopi susu hangat. Atas perintah Gibran, Juna meletakkan cangkir itu di meja kerjanya.
"Om Jun, Gibran pengen permen, yang ada tusuknya, tolong beliin," pinta Gibran lagi. Juna mengernyit antara heran dan kebingungan, tetapi ia tak banyak bertanya dan langsung melaksanakan perintah Gibran.
🕊🕊🕊
Juna berlari menghampiri Gerlan, Gevan, Alex, dan Resta yang berada di ruang keluarga.
"Kenapa berlari, Om Jun?" Gerlan menginterupsi.
"Tuan, Tuan Gibran memanggil Anda, untuk ke ruangannya." Juna membalas dengan satu tarikan nafas.
Gerlan mengernyit, mereka berempat di sini, jadi siapa yang dimaksud oleh Juna?
"Siapa yang Abang panggil?" tanya Gerlan.
"Anda, Tuan Gerlan!" jawab Juna cepat, seperti sedang ketakutan.
"Ada urusan apa Abang memanggil Gerlan?" sahut Gevan tak paham.
"Saya tidak tahu, Tuan, tetapi Tuan Gibran tampak marah," ucap Juna dengan nafas terengah.
Sontak ketiga adik Gerlan berdiri, menatap Juna tak percaya.
"Abang gak mungkin marah." Resta yang pertama bersuara.
"Saya tidak berbohong, Tuan Muda. Tuan Gibran tadi ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertukar Jiwa
Teen FictionRasanya seperti mimpi, anak sulung yang disayang dan memanjakan adiknya harus menggantikan peran sulung otoriter yang ditakuti adiknya sendiri. ⚠︎ 𝗣𝗘𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗡 ⚠︎ ➢ 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔 𝗕𝗢𝗬𝗦𝗟𝗢𝗩𝗘 ‼️ ➢ 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗧𝗔...