[09]

3.1K 377 84
                                    

Suasana hening ketika Gibran masuk ke ruang BK. Mendadak atmosfer di ruang BK menjadi suram, tak ada yang berani berbicara, bahkan wali murid Arka yang tadi terus mengoceh kini diam karena kehadiran Gibran.

Alex yang duduk di sebelah Elang pun makin merapatkan tubuhnya ke sang sahabat. Elang yang peka pun memegang tangan Alex yang mulai berkeringat dingin.

Gibran mengedarkan tatapannya ke seluruh ruang, kemudian berhenti ketika netranya menangkap wajah Elang ... Tunggu, kemana pipi tembem Elang?!

Gibran berdehem, mencoba menghapus canggung yang hadir saat dirinya datang.

"Apa masalahnya?" tanya Gibran to the point. Ia juga berusaha menahan tangisnya setelah perkataan Gerlan tadi.

"Orang ini meminta teman sekelas kami untuk memanggil kami berdua ke lapangan basket." Elang yang berani membuka suara, tak lupa ia menunjuk Arka sebagai penyebab masalah ini. Atensi langsung mengarah pada Elang, termasuk Adnan yang memilih mendengarkan.

Gibran tersenyum tipis, mendengar suara Elang membuat dirinya merasa lebih baik. Ah, dan juga melihat wajah kedua adiknya yang ia rindukan.

"Kami pikir Arka hanya meminta kami bertanding basket, tapi tiba-tiba dia menyuruh puluhan murid lain untuk memukuli kami, tentu saja kami melakukan pembelaan," lanjut Elang dengan suara mantap.

"Hanya karena itu? Apa bimbingan konseling di sekolah ini tidak memiliki peraturan? Itu hanya pelanggaran kecil, mereka tidak sampai babak belur, tidak ada yang terluka parah juga," ujar Gibran. Adnan tampak mengangguk pelan tanda setuju.

"Gue pikir juga gitu!" seru Elang semangat.

"Elang, tata krama," tegur Adnan pada Elang.

"Eee ... Maaf?" Elang tampak tak memperdulikan tata kramanya, Gibran tertawa dalam hati, Elang tertular sikapnya saat menjadi Afdan.

"Jadi kita sudah tahu siapa yang salah di sini—"

"Hey, om-om jelek!" sela Arka. Kalimat Gibran yang terpotong membuat suasana kembali suram.

"Harusnya kau juga mendengarkan dari sudut pandangku!" seru Arka. Gibran mendengkus seolah mengejeknya.

"Kau pikir aku tak mengenalmu, bocah? Ini sudah lebih dari lima kali kau menantang adikku, hasilnya masihlah sama, kau kalah dan kau tidak terima, dan sekarang kau malah menggunakan cara curang seperti ini?" balas Gibran. Ia kenal betul wajah Arka, bocah yang ia lihat tiap kali datang kemari untuk menjadi wali murid Elang.

"Sudahlah, aku tak butuh maaf juga darimu, maupun pertanggungjawaban atas perbuatanmu menyakiti adikku. Elang— ekhem Elang Alex, pergi keluar lebih dulu," lanjutnya lagi. Elang serta Alex langsung berjalan keluar, lebih baik tidak membantah Gibran.

"Jangan menganggap semua ini remeh," celetuk Adnan dengan nada tak suka.

Gibran menatapnya, kemudian menghampiri Adnan, berhadapan sembari menatap wajah adiknya itu.

"Aku tak menganggapnya remeh, karena ini bukan pertama kalinya aku—"

"Sial! Gue lupa, gue bukan Afdan lagi!" batin Gibran setelah ucapannya terputus.

"Kau apa?" Adnan penasaran.

"Tidak lupakan. Untuk masalah ini, Anda yang lebih berhak memberi sanksi pada ketiga siswa ini, Pak guru. Lalu, Arka ... Aku mewakili Alex dan Elang meminta maaf atas semua kesalahan mereka, walau aku tahu kau juga bersalah di sini ..." Gibran sedikit menunduk pada guru BK, Arka, dan ayahnya Arka.

"Jangan menundukkan kepala pada orang yang bersalah!" geram Adnan sembari menarik Gibran keluar dari ruang bimbingan konseling.

Sejenak Adnan teringat kakaknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bertukar JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang