[03]

4.7K 599 19
                                    

Afdan terbangun dengan nafas terengah-engah, bayangan mimpi pemilik asli raga yang ditempatinya sekarang mulai memenuhi pikirannya.

Sagavilo Gibran Affandra, seorang anak sulung yang sudah ditinggal mati kedua orang tuanya, menjadi kepala keluarga untuk keempat adiknya sejak 9 tahun yang lalu, usianya 25 tahun, itu berarti Gibran sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak umur 16 tahun.

Juga, Gibran lebih muda 2 tahun dibanding Afdan.

Afdan bahkan tak bisa membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi Gibran.

Satu hal lagi, karena Gibran yang saat itu berusia 16 tahun dianggap terlalu muda untuk mengurus seluruh aset kekayaan ayahnya, hampir seperempat kekayaan Revan Affandra, ayahnya Gibran jatuh ke tangan kakak ipar Revan, alias paman dan bibi Gibran dari pihak ibu.

Hal tersebut sempat membuat Gibran emosi, pada akhirnya terbentuklah kepribadian Gibran yang dingin, dan cuek.

Sifat Gibran yang berubah berdampak buruk pada hubungan Gibran dan adik-adiknya.

Sekarang Afdan tahu alasan kenapa Gerlan, Resta, dan Alex menatapnya tak suka.

Bagaimana pun itu hal yang wajar karena Gibran sebenarnya juga kesulitan mengekspresikan kasih sayangnya.

Pun Gibran juga hampir kehilangan adik-adiknya, masih di umur 16 tahun, paman dan bibi dari pihak ibu meminta hak asuh adik-adiknya, Gibran yang tahu bahwa paman dan bibinya hanya menginginkan harta yang diwariskan Revan pada keempat adiknya pun menolak memberikan hak asuh.

Gibran hanya seorang remaja yang dipaksa untuk dewasa, untuk mempertahankan hak asuh keempat adiknya, Gibran mendidik adik-adiknya dengan tegas, dan tanpa sadar menjadi sosok otoriter yang dibenci adiknya sendiri.

Tapi perlahan adik keduanya, Gevan paham dengan kondisi Gibran. Gevan adalah satu-satunya adik Gibran yang tak membenci Gibran, meski terkadang Gevan dibuat sebal dengan kelakuan Gibran yang otoriter.

Sekarang, alasan tubuh Gibran berada di rumah sakit adalah, pria 25 tahun itu mengalami koma setelah terlibat kecelakaan mobil.

Afdan yakin kecelakaan itu akibat sabotase. Ada orang yang menginginkan Gibran tiada.

"Lu dimana, Gibran? Lu mau gue yang polos dan unyu ini gantiin lu yang sewenang-wenang sama adik sendiri? Gue tuh sangat lembut dan menyayangi adik gue sendiri," ujar Afdan sembari mengusap air mata imajer.

Cih, lebay.

"Apa gue harus minta maaf sama adik-adik lu? Mana berani, gue gengsian orangnya," gumam Afdan.

Pintu ruang inap terbuka, Gevan masuk dengan wajah lelahnya.

"Loh, Abang gak tidur?" tanya Gevan heran.

"Kebangun, habis mimpi buruk." Afdan menjawab dengan lesu. Pria itu bahkan tak bisa menatap Gevan karena gugup.

"Tidur lagi, Bang. Gevan jagain," ujar Gevan sembari duduk di kursi samping brankar.

"Kamu kayak capek banget, sini tidur bareng." Afdan menggeser badannya, memberi sebagian brankar untuk Gevan berbaring.

Gevan menatapnya dengan terkejut, kemudian menggeleng pelan, "Gevan di sofa aja, nanti malah ganggu Abang istirahat," ujar Gevan seraya tersenyum.

"Ini masih muat kok." Afdan memiringkan badan, membuktikan bahwa brankar tersebut muat untuk dirinya dan Gevan.

Kesal karena Gevan tak kunjung menurut, Afdan menatapnya dengan tajam, barulah Gevan berbaring menghadap Afdan.

"Dah, tidur." Kebiasaan Afdan saat menidurkan Elang pun terbawa, yaitu memeluk adiknya sembari memejamkan mata.

Gevan terkejut ketika pinggangnya dipeluk oleh sang Abang, seingatnya terakhir kali sang abang memeluk dirinya adalah 9 tahun silam, saat hak asuhnya hampir jatuh ke tangan paman dan bibi dari pihak ibu.

Bertukar JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang