Aku tidak begitu mengerti bagaimana dunia berjalan sewaktu aku masih anak-anak.
Kupikir, orang-orang yang aku temui pada saat itu adalah orang-orang yang akan terus bersamaku hingga aku tua nanti. Bahkan terbayang di pikirkanku bagimana kita akan dewasa bersama, menjadi tetangga, dan menghabiskan waktu bersama sampai tua.
Tapi, itu hanya angan anak-anak yang bodoh dan terlalu naif.
Begitu aku beranjak dewasa, hal-hal yang selalu ada untukku lama-kelamaan menghilang. Orang-orang yang selalunya bergandengan tangan denganku selama melewati waktu remaja, satu per satu menjauh, tertelan oleh jarak, meninggalkanku sendirian yang kemudian harus berjalan seorang diri menapaki garis takdir.
Meski begitu, aku tak menampik fakta bahwa aku merindukan masa-masa dimana aku dan teman-temanku senantiasa bergandengan tangan dan bermain bersama. Masih teringat jelas bagaimana hari dimana kami pergi berlibur ke Kota Ame untuk menikmati senja bersama, melawan izin orang tua yang menolak untuk mengabulkan keinginan sekelompok remaja yang hanya ingin bersenang-senang.
Naasnya selepas itu, kami kemudian berpisah, dihantam oleh hari kelulusan SMA, dan semuanya disibukkan oleh realitas dunia yang sekejam seorang pembunuh.
Aku memang rindu, tapi terkadang itu menjadi momen menyesakkan ketika teringat bagaimana kami berpisah.
Ada perpisahan baik disana, dimana kami hanya saling menangis di suasana penuh haru di hari perpisahan, dimana kami masih saling berhubungan meski hanya sekedar mengucap salam hingga sekarang.
Namun, ada pula perpisahan yang buruk. Dimana kami saling bertengkar hebat, menangis karena menahan sakit di hati, dan kemudian memilih untuk tidak berhubungan entah sampai kapan. Itu mungkin bisa menjadi selama-lamanya, atau mungkin bertahan sementara hingga takdir kembali mempertemukan.
Sejujurnya, aku tidak ingin aku kembali bertemu dengan orang-orang yang berhasil membuatku menangis setiap malam. Aku rasanya tidak mau lagi untuk teringat masa-masa hari dimana hatiku rasanya remuk redam. Namun, takdir Tuhan bukanlah sesuatu yang bisa diatur oleh manusia, bukan?
Maka, pada malam Minggu yang selalunya menjadi malam yang aku sukai, mendadak menjadi malam yang buruk begitu aku melihatnya malam ini.
Itu adalah pria yang mengenakan kaos berwarna hitam gelap, dengan celana kain berwarna krem yang menutupi kaki jenjangnya. Rambutnya yang berwarna hitam legam tetap masih bermodel sama seperti lima tahun yang lalu, dan mata hitamnya yang segelap obsidian tampak menatapku dengan canggung.
Aku tidak suka ini.
Aku tidak suka makan malam hari ini dimana aku melihat pria itu lagi sedang duduk berhadapan denganku di meja makan yang selalunya membuatku gembira karena masakan rumah favoritku.
Tapi karena ada dia,
mendadak aku membenci segalanya.
"Hinata, bagaimana kabarmu?"
Aku menoleh, menatap Bibi tetangga yang sudah lama tidak berjumpa.
Wajah wanita yang aku idolakan sewaktu umur remaja itu masih tetap sama, hanya sedikit keriput yang menghias di wajahnya yang tak lagi muda. Namun selain itu, semua tentang Bibi Mikoto selalu sama.
Dimulai dari nada suaranya,
Perhatiannya,
Maupun bagaimana mata hitamnya menatapku dengan kasih sayang.
Kuulas sebuah senyum ringan, kemudian menjawab, "Aku baik-baik saja, Bibi."
Aku berbohong.
Sore tadi, sebelum netraku yang katanya seperti bulan purnama melihat sesosok pria yang membawaku dalam rasa sakit di masa lalu, aku masih baik-baik saja,

KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect
FanfictionSejak Hinata dan Sasuke memilih untuk mengakhiri hubungan mereka yang lama-kelamaan seperti benang kusut, mereka berdua sudah berhenti untuk saling menghubungi satu sama lain. Satu Tahun Dua Tahun Tiga Tahun Empat Tahun Lima Tahun Waktu untuk mereka...