07 | Berpisah

64 13 0
                                    

Jalan raya di hari Minggu ramai dipenuhi kendaraan seperti hari kerja biasanya sudah menjadi pemandangan biasa. Dengan cuaca panas yang terik, AC di mobil pun harus dinyalakan penuh agar terasa sejuknya. Jakarta tanpa ramai, padat, dan panas terasa seperti ada yang kurang. Sama seperti Wira, Wira tanpa Erina pun terasa seperti ada yang kurang.

Cuaca yang panas dan hatinya yang tiba-tiba terasa sepi membuat Wira ingin cepat tiba di apartemennya tanpa ingin mampir ke suatu tempat. Kafe yang biasa menjadi tempat bersantai hanya dilewatinya begitu saja, saat ini kafe tidak terlihat menarik dibanding merebahkan diri di kasurnya.

"Aku tidak mau kalau nantinya kita pisah karena pertengkaran."

Perkataan Erina pada Wira beberapa tahun lalu itu menjadikan kesadaran saat ini, bahwa perpisahan tanpa pertengkaran malah terasa lebih berat dari yang dibayangkan.

"Yang penting kita tetap berkomunikasi, tetap saling kasih kabar. Nanti aku yang kasih kabar duluan saat sudah sampai. Jangan khawatir, Wira." Erina mengatakannya saat di bandara, ketika tatapan Wira seperti mengatakan "tolong jangan pergi".

Bagaimana dirinya tidak akan khawatir jika orang yang dia cintai begitu jauh jaraknya dengan dirinya saat ini. Tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. "Bagaimana jika kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini kedepannya." Wira sangat ingin mengatakannya kepada Erina saat di bandara tadi. Namun, Wira tidak ingin terlihat tak yakin akan keputusan Erina dihadapannya, maka dia mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal tersebut.

Erina mengerti keadaan Wira yang baru saja pulang tadi malam dari Jogja, yang seharusnya Wira istirahat di apartemennya bukan malah ikut mengantarnya ke bandara. Tapi Wira tidak mau menyesal di besok hari karena tidak sempat memeluk Erina sebelum terbang ke Jepang. Erina pun sengaja menyuruh Wira untuk datang 30 menit sebelum keberangkatannya. Agar setelahnya Wira bisa beristirahat lagi di apartemen. Bagi Erina itu sudah cukup hanya dengan Wira datang, namun bagi Wira seharusnya paling tidak mereka bisa menghabiskan waktu 1 jam bukan hanya 30 menit.

Pertemuan pertama yang masih melekat di ingatan mereka menjadi topik pembicaraan Wira dan Erina di bandara. Bagaimana cara Wira yang mengutarakan perasaannya pada Erina secara tiba-tiba tapi tak membuat Erina terkejut karena instingnya yang sudah tahu bahwa Wira mempunyai rasa suka padanya.

Erina sebenarnya kurang menyukai laki-laki yang tidak pernah berniat untuk berkomunikasi antar sesama dan hanya sibuk dengan pikirannya sendiri seperti Wira, tapi perasaan orang bisa berubah sewaktu-waktu.

"Daya tarik kamu tuh apa sih? Kok bisa-bisanya aku ikut-ikutan suka sama kamu."

"Tidak tahu."

Pertanyaan jahil yang Erina lontarkan kepada Wira hanya dijawab dengan singkat dan Wira memang terkadang seperti itu, jadi Erina tak masalah dengan itu.

"Kamu enggak mau cerita tentang apa aja gitu?"

Wira hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Entah mengapa dirinya seperti itu.

"Kemarin di Jogja gimana? Nenek sudah sehat?"

"Sudah, makanya aku ke sini."

"Kamu mau aku bawain apa kalo aku ke Indonesia lagi?"

Erina terus berusaha membuat suasana tidak kaku dengan terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk Wira.

"Erina, aku mau peluk kamu, boleh?"

Permintaan yang tidak terpikirkan oleh Erina. Tiba-tiba Wira meminta pelukan darinya, hal yang sangat jarang terjadi.

Erina segera memeluk Wira dan dengan cepat Wira menyenderkan kepalanya di bahu Erina. Ia tahu sedari tadi orang tuanya tak lepas melihat ke arahnya yang sedang duduk berdua bersama Wira.

"Wira hati-hati di Jakarta ya, jangan sakit. Aku bakal kangen kamu."

Pelukan Wira semakin erat pada tubuh Erina di depannya. Menyimpan rasa rindu yang akan datang di hari-hari selanjutnya saat Erina jauh dari sisinya.

"Erina juga harus hati-hati dan sehat terus ya di Jepang. Aku bakal lebih kangen sama kamu."

Kata "sampai jumpa" antara mereka masih terus singgah di kepala Wira, bahkan sampai dirinya sudah sampai tepat di depan pintu kamar apartemennya, hingga dirinya hampir saja lupa akan pin kamarnya.

Kamar Wira terasa kosong, padahal memang seperti ini setiap harinya. Ia terbiasa sendirian di kamar. Namun, saat ini bukan hanya suasana kamarnya saja yang kosong, suasana hatinya tak kalah kosongnya. Bahkan benar-benar kosong. Ada pemiliknya, tapi tak singgah di dekatnya.

Pikirannya hanya satu, ia akan secepatnya pergi dari kota yang membuatnya seketika kesepian.

"Apakah Erina juga sedang dalam hati yang kesepian di dalam pesawat yang membawanya terbang menuju Jepang." Kalimat itu tiba-tiba lewat begitu saja di pikirannya. Kenapa pada saat seperti ini, ia merasa pikiran kurang baik datang dengan mudahnya, seperti mendukung perasaan sedihnya.

Wira hanya bisa meyakinkan diri, Erina pun sama beratnya untuk saling berjauhan. Erina tak akan melupakan dirinya di sana. Mereka akan bertemu kembali di titik akhir takdir untuk saling melengkapi hingga habis usia.

•••

Bersambung

SEWINDU

SEWINDU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang