10 | Masih Belum Usai

34 7 0
                                    

Wira mengira sejak telepon terakhirnya dengan Erina dua minggu lalu, Erina akan memberinya kabar tentang apa yang sudah ia pikirkan betul-betul. Namun, sampai detik ini notifikasi dari Erina masih hening. Tidak ada yang muncul. "Apakah Erina tidak menganggap dirinya serius?" pikir Wira.

"Ibu, aku tidak tahu akan bagaimana dengan Erina." Anak sulung ibu itu memilih untuk membagikan apa yang sedang mengganggu pikirannya kepada sang ibu, dengan maksud bisa mendapatkan sedikit bantuan.

"Ibu yakin kalian masih saling sayang, saling cinta. Tapi jika ini perkara komunikasi, dulu ibu pernah merasakannya dan itu sangat sulit."

Wira masih tidak tahu bagaimana harus merespon perkataan ibunya barusan. Ia mengalihkan perhatian dengan sibuk mengupas buah mangga yang tadi pagi dibeli ibunya di pasar.

Merasa seperti tidak didengarkan, ibunya segera mengambil alih buah mangga dan sebuah pisau yang berada di kedua tangan Wira.

"Sekarang yang ada di pikiran kamu tentang bagaimana baiknya hubungan kalian apa?" Wira hanya menggeleng untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ibunya. Ia terlihat seperti anak kecil yang bingung untuk menjawab pertanyaan.

Wira sebenarnya butuh jawaban dari Erina, Wira butuh Erina bilang apa yang dia mau. Tapi Erina tidak memberikan jawaban apa-apa saat ini.

"Baik atau buruk kelanjutan hubungan kalian nantinya, kamu harus bisa menerima itu Wira. Kalau kamu cinta dia, kamu harus siap dengan bertahan maupun berpisah."

Benar apa kata ibunya. Pilihan Wira dan Erina hanya ada dua, bertahan atau berpisah.

Halo Erina, apa kabar?

Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Erina, ia kembali memperhatikan ibunya yang sudah mengambil alih untuk mengupas buah mangga tersebut. Menatap mata ibunya dan berakhir dengan saling kontak mata.

Seorang ibu yang bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya itu, menepuk pundak anaknya pelan dan tersenyum. Membuat senyum Wira ikut terukir.

"Kira-kira Erina sedang apa ya, Bu?"

Di sana, Erina baru saja turun dari bis dan akan melanjutkan pulang ke rumah dengan berjalan kaki karena rumahnya tidak jauh dari pemberhentian bis di kota. Sebelum berjalan kembali, ia menyempatkan untuk membuka handphone-nya sebentar dan melihat ada satu pesan dari Wira.

Wira! Kabar baik. Bagaimana denganmu? Maaf, aku jarang menghubungimu.

Dan Erina pun menyempatkan untuk membalas pesannya dengan singkat.

Hari ini adalah hari libur Erina, karena merasa bosan ia mengajak temannya untuk berjalan-jalan agar tidak merasa jenuh.

Sebenarnya Erina sedang merasa kurang sehat hari ini, kepalanya terasa sedikit sakit sejak pagi tadi saat bangun tidur. Ia berpikir mungkin ia hanya butuh refreshing dari pikiran tentang pekerjaan. Jadi dia pergi keluar bersama temannya dari siang hingga sore.

Sekitar jarak 100 meter dari rumahnya, rasa sakit di kepalanya itu muncul kembali lalu hilang dalam waktu singkat. Itu rasa sakit yang sama seperti tadi pagi.

Erina segera mempercepat langkahnya untuk sampai ke rumah.

Sejenak setelah ia masuk ke rumah dan menutup pintu, kepalanya kembali terasa sakit tak karuan. Membuatnya tidak kuat untuk berdiri lalu terduduk di lantai dengan tangan yang masih memegang kepalanya.

"Mama.. tolong Erina.."

Erina berusaha memanggil mamanya yang kebetulan hari ini juga sedang berada di rumah. Ia mencoba untuk sedikit memukul-mukul lantai agar kegaduhan yang ia buat bisa terdengar oleh mamanya.

"Erina kamu kenapa, Nak?" Suara mama Erina terdengar sangat khawatir dan panik melihat anaknya terduduk di lantai sambil kesakitan.

Dengan sigap mama Erina memapah anaknya untuk masuk ke dalam mobil lalu melaju dengan cepat menuju rumah sakit.

Erina benar-benar kelelahan dan kekurangan cairan, maka dari itu ia perlu dirawat dan menginap di rumah sakit.

"Aku tidak perlu menginap, kepalaku sudah tidak sakit."

Dari kecil Erina selalu merasa takut apabila dianjurkan untuk menginap di rumah sakit. Ia merasa lebih nyaman di rumah.

"Sudah, kamu jangan banyak protes. Ini demi kesehatanmu Rin," ucap mama Erina yang kini sedang duduk di sebelahnya. Dan mau tidak mau Erina harus menuruti apa kata mamanya kali ini.

"Kamu nih banyak pikiran ya?" Bukannya menjawab pertanyaan mamanya, Erina malah terlihat sedang berpikir.

"Aku kepikiran Wira." Matanya menerawang ke sekitar saat Erina mengatakannya.

"Tuh kan, apa yang mama khawatirkan terjadi sekarang. Kamu sampai sakit begini karena mikirin dia."

"Enggak.."

"Apanya yang enggak?"

Pintu kamar tiba-tiba terbuka di antara percakapan mereka.

Papa Erina mendapatkan kabar bahwa anaknya masuk rumah sakit, jadi beliau segera menuju rumah sakit setelah bertemu dengan rekan kerjanya.

"Kenapa, Erina?" Papa Erina segera mendekati anaknya yang sedang berbaring di ranjang, menanyakan keadaan anaknya.

"Enggak apa-apa, Pa. Cuma kelelahan."

"Papa tolong nasehati Erina ya, Mama mau keluar sebentar." Mama Erina memilih untuk pergi sebentar dari hadapan anaknya, beliau tidak ingin emosinya semakin tersulut dan berakhir memarahi Erina yang sedang sakit.

"Kamu harusnya makan yang teratur, Papa tahu kok kamu jarang makan kalau di rumah." Erina hanya mengangguk untuk merespon.

"Sudah kasih kabar ke Wira?" Papa Erina tidak tahu apa yang terjadi antar mereka sekarang. Papa Erina menganggap hubungan Erina dan Wira masih berjalan lancar, padahal sebaliknya.

"Papa suka tidak kalau Erina berpacaran dengan Wira?" Papa Erina juga hanya mengangguk untuk memberikan jawaban.

"Tapi, sepertinya mama tidak suka."

"Lalu?"

"Hubungan tanpa komunikasi itu bagaimana?" Papa Erina mengernyit mendengar pertanyaan anaknya.

"Ya jelas sulit. Dengan komunikasi saja terkadang rumit apalagi tanpa komunikasi?"

Apa yang dikatakan papanya benar dan Erina kembali berpikir tentang keputusan yang paling baik untuk mereka.

•••

Bersambung

SEWINDU

SEWINDU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang