05 | Mau Melepaskan

70 13 0
                                    

Jumat sore pada pukul empat Wira baru saja pulang dari kantornya. Sesaat sampai di depan pintu kamar apartemennya, ia terkejut melihat Erina sedang menunggu di depan pintu. Erina bilang ia ingin punya waktu bersama Wira sebelum berangkat ke Jepang. Jadi Erina berkunjung ke apartemen Wira di hari ini. Wira tidak menolak Erina yang berkunjung saat dia baru pulang kerja. Karena mungkin ini hari terakhir mereka bisa mengobrol dalam waktu lama.

Hanya tinggal hitungan hari Erina akan berangkat ke Jepang. Banyak yang sudah dipersiapkan, termasuk perpisahannya dengan Wira. Perkataan mama Erina kemarin saat sedang merayakan wisudanya masih melekat di benak keduanya. Mungkin dianggap salah berbicara seperti itu di depan dua orang yang sedang bersiap untuk berjauhan. Tetapi jika tidak begitu, Erina dan Wira hanya akan memikirkan hal baiknya dan tidak bisa menerima hal buruknya di kemudian hari.

"Wira.. aku kemarin habis cetak polaroid loh, nih disimpan ya."

Erina menyerahkan selembar kertas polaroid itu kepada Wira dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri. Wira tersenyum lebar saat melihat foto mereka di kertas polaroid itu, foto yang diambil saat sedang merayakan anniversary hubungan mereka tahun lalu, Wira ingat dengan itu. Wira pun menoleh ke arah Erina, melihat Erina yang juga tersenyum lebar seperti dirinya.

"Wira, kalau nanti akhirnya kamu sama perempuan lain, aku enggak apa-apa kok."

Wira terkejut dengan perkataan Erina yang tiba-tiba itu. Reflek menaruh kertas polaroid itu di atas meja, lantas merubah posisi mereka agar berhadapan, menatap lama mata Erina dengan lembut, begitu juga Erina memandangi setiap inci wajah Wira. Malam ini akan mereka isi dengan obrolan serius.

"Rin, aku sayang kamu."

"Iya Wira, tapi aku sudah ikhlas kalau hal itu benar-benar terjadi. Kita bisa bersama karena takdir, kita bisa berpisah juga karena takdir, kan? Entah apa yang akan terjadi pada kita nantinya, yang penting sekarang kita saling sayang." Erina bergerak memeluk tubuh Wira yang berada di depannya.

Bertahun-tahun mereka bersama pastinya sulit untuk melepaskan. Jika sudah bicara tentang takdir, mau buat apa? Mereka hanya bisa saling mendukung, saling mendoakan yang terbaik, dan saling rindu.

Wira membalas pelukan Erina dengan erat seperti tidak ingin lepas. Menenggelamkan wajah Erina di dadanya. Tidak terasa mata Wira terasa panas menaham air mata yang ingin jatuh. Wira dapat merasakan Erina sedang menangis di pelukannya. Wira pun sudah tidak dapat menahan air matanya.

"Aku akan mendoakan yang terbaik untuk kamu Rin dan untuk kita juga."

Erina merenggangkan pelukan mereka, menatap wajah Wira dengan tenang, memandangi orang yang telah menemaninya selama ini. Wira tersenyum melihat wajah Erina dan segera mengusap air matanya. Telapak tangannya masih betah memegang pipi Erina. Matanya menatap dalam pada wajah Erina, begitu pun sebaliknya.

"Aku akan tetap menghubungimu saat di Jepang, aku janji. Aku sayang kamu Wira."

"Aku sayang kamu juga, Erina."

Mereka saling memberikan pelukan hangat dan Erina menenggelamkan wajahnya lebih lama di pelukan Wira hingga Wira tetap di tempatnya dan tak bergerak banyak.

Mereka menghabiskan waktu dengan memasak bersama untuk makan malam dan banyak bercerita satu sama lain.

Walaupun hari sudah malam, Erina tidak menginap karena Wira tidak mengizinkannya. Kini Wira mengantarnya pulang pada pukul sepuluh malam, menggunakan mobil Erina tentunya. Tak perlu khawatir, Wira bisa kembali ke apartemen dengan ojek online.

Erina masih enggan keluar dari mobil, padahal mereka telah sampai di rumah Erina, bahkan mobil sudah terparkir di halaman.

"Erina, ini sudah sampai di rumahmu. Driver-mu ini sudah lelah, harus segera pulang dan pergi tidur."

Erina menatap Wira di kursi kemudi yang menyebut dirinya "driver", ia segera melepaskan seat belt dan keluar dari mobilnya.

"Kalau lelah harusnya kau tadi tidur saja tidak perlu mengantarku," ucap Erina khawatir.

"Hei, aku takkan membiarkanmu pulang sendirian malam-malam begini."

Wira menyerahkan kunci mobil kepada Erina lalu mengusap kepala Erina. Menyuruhnya segera masuk ke rumah. Namun, mama Erina lebih dulu membuka pintu sebelum Erina berjalan menuju pintu rumahnya.

Mamanya mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah, tetapi tidak segera mendengar ketukan pintu.

"Erina, kenapa baru pulang jam segini? Ayo masuk sudah malam."

Mama Erina menghampiri anak bungsunya membawa masuk ke rumah dan berterima kasih kepada Wira karena sudah mengantarkan pulang.

Seperti di film-film, orang tua yang tidak suka anaknya kencan dengan pacarnya hingga malam dan diantar pulang ke rumah.

Wira hanya memandangi jalanan yang masih ramai walaupun sudah malam saat perjalanan pulang ke apartemennya. Ia sedikit lega karena Erina mengatakan ia akan tetap menghubunginya saat sudah di Jepang nanti dan berharap Erina benar-benar tak mengingkari janji atau bahkan melupakannya di tengah kesibukannya.

•••

Bersambung

SEWINDU

SEWINDU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang