Chapter 4 : Nightmare

20 6 2
                                    

GELAP gulita menemani sang rembulan di malam hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

GELAP gulita menemani sang rembulan di malam hari. Tak ada suara apa pun selain kesunyian tiada batas, bahkan tak ada seorang pun yang melintas di jalanan sepi yang Amelia lewati saat ini. Baru saja beberapa langkah wanita itu menyusuri trotoar jalan, netranya malah tertuju pada sebuah peristiwa tragis yang tengah berlangsung. Ia melihat dengan jelas pria itu menggunakan belati tajam itu untuk mencungkil mata korbannya. Bagai kelinci percobaan, sang korban berteriak kencang dan histeris. Hal itu makin meruntuhkan kekuatan Amelia untuk berdiri. Kakinya gemetar, tetapi bibirnya kelu untuk meminta bantuan.
“Hahaha, inilah akibatnya bila kau bermain-main denganku.”
Suara teriakan dan raungan kesakitan itu tiada habisnya. Bagi pria bengis bak psikopat, jeritan itu pun bahkan terdengar seperti alunan melodi indah baginya. Ia masih tersenyum licik, sembari menikmati tiap adegan yang tengah ia mainkan. Ia menggores, menusuk, dan menguliti manusia itu hidup-hidup. Seketika rumput hijau itu berubah menjadi lautan darah.
Perlakuan yang sama berulang kali ia lakukan, hingga di detik kebosanan, sang pelaku pun langsung menghunuskan belati itu tepat di jantung korbannya hingga meregang napas terakhir. Sontak Amelia terkulai lemas. Ia membekap mulutnya sekuat mungkin untuk meredam suara, sembari menahan nangis. Ia mencoba perlahan mundur dan bersembunyi di balik pohon. Namun tiba-tiba sebuah belati melesat dan menggores pipi kanannya. Amelia tak pernah mengira dirinya akan terlibat kontak langsung dengan pria gangguan mental itu. Cairan merah itu perlahan menetes. Hal itu makin membuat sang psikopat berbahagia, sementara korbannya menderita ketakutan parah.
“Ternyata ada seorang gadis lugu yang melihat perbuatan yang saya lakukan ya.” Ia melangkah mendekati Amelia, “Sayangnya kau harus disingkirkan juga gadis manis.”
Psikopat itu mengambil belati dan mengancang-ancang titik vital Amelia. Gadis itu pasrah, mau bagaimana pun ia tak akan pernah bisa selamat dari orang gila itu.
“Sampai ketemu lagi ... di neraka!”
“AAA!”


***

Amelia terbangun dengan perasaan takut dan trauma. Keringat bercucuran deras di sekujur tubuhnya. Ia meraba-raba wajahnya memastikan kejadian itu nyata atau hanya sebuah mimpi saja. Ia mengembuskan napas lega, tatkala mengetahui ia hanya bermimpi saja. Semenjak kembali ke masa lalu, ia selalu mengalami mimpi buruk. Seolah-olah mimpi itu adalah sebuah peringatan atas takdir yang telah ia ubah. Ia hanya ingin hidup dengan damai, tapi nyatanya semua itu hanya fiktif belaka.  Sungguh menyebalkan!

***

Mimpi sial itu benar-benar membuatku gila!
Amelia merutuki diri dalam batinnya, ia tak pernah bisa berkonsentrasi karena bayangan mengerikan itu selalu berputar di benaknya. Bahkan di meja makan pun, Amelia kerap kali memikirkan mimpi yang semalam.
“Nak kamu kenapa melamun?” Karina menepuk pundak Amelia—anaknya.
Amelia terkejut. “Melmel cuman lagi memikirkan hal aneh, Ibu.”
“Kalau kamu punya masalah bilang aja ya, Nak. Jangan dipendam.” Karina tersenyum sembari mengelus puncak kepala Amelia.
“Siap Ibu Negara.” Amelia berucap dan melakukan gaya hormat. Karina pun terkekeh melihat itu.
“Wah, kalian lagi ngapain? Jangan-jangan kalian lagi bicarain Ayah ya?” Kevin tiba-tiba muncul dan mengagetkan keduanya.
“Ayah kepo!” teriak Amelia dan Karina, sedangkan Kevin hanya mampu diam dan menggeleng saja.
Tak lama mereka saling bertatapan, lalu mereka tertawa bersama-sama.
Tidak akan aku biarkan seseorang mengganggu keluargaku, batin Amelia.
***
Amelia sedang menuju ke perusahaannya. Ia telah resmi menggantikan ayahnya dan berencana untuk langsung memecat seluruh pengkhianat di masa lalu. Tiba-tiba ia merinding seolah ada yang mengikutinya. Perlahan ia menambah laju mobilnya, tetapi mobil itu berhasil menghadangnya. Ia begitu takut dan tidak tahu harus melakukan apa.
“Keluar dari mobil Anda, Nona,” ucap salah satu pria yang menghadang jalan Amelia.
Karena Amelia tidak menuruti permintaan, mereka langsung saja menghancurkan kaca mobil Amelia dengan sebuah tongkat besi. Namun tak disangka, seorang pria datang dan menghajar satu persatu penghadang itu. Amelia merasa takjub dan berpikir seolah pernah melihat pria itu. Namun ia lupa di mana? Tak berselang lama ketika Amelia bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia mengingat mimpinya. Pria itu seperti orang yang berada di dalam mimpinya. Pria itu berhasil menumbangkan satu persatu lawannya.
“Nona, Anda tidak perlu takut lagi. Semuanya sudah aman.” Pria itu membungkukan badan. Deru napas berbau mint itu terasa sangat menyegarkan di hidung Amelia.
Amelia pun bergegas keluar dari mobilnya. “Terima kasih, Tuan. Anda telah menyelamatkan saya. Kalau tidak ada Anda, saya tidak tahu nasib saya akan seperti apa tadinya.”
“Hahaha, tidak masalah, Nona. Saya senang bisa membantu Anda.” Pria itu pun menyodorkan tangannya di hadapan Amelia. “Perkenalkan saya Kenzo Wiliam.”
Amelia menyambut tangan itu dengan hangat. “Nama saya Amelia, Tuan.”
“Jangan panggil saya, Tuan. Panggil saya Kenzo. Sebaiknya kita juga tidak usah berbicara formal.”
“Baik Kenzo, panggil aku Amel saja.”
Mereka berbincang-bincang sembari membunuh waktu hingga Amelia lupa bahwa ia harus pergi ke perusahaan.
“Kamu belajar ilmu beladiri saja agar bisa melindungi diri kamu.” Kenzo sedang menawarkan kepada Amelia untuk belajar ilmu beladiri.
Amelia memikirkannya kemudian menyetujuinya. Tidak ada salahnya ia belajar beladiri, supaya kejadian yang tadi tidak terulang lagi. Menyadari bahwa ia harus pergi ke perusahaan, Amelia langsung berpamitan kepada Kenzo dan bergegas pergi. Saat kepergian Amelia, Kenzo menunjukkan senyum smirk. Entah apa yang sedang ia rencanakan.

***

“Kalian semua saya pecat! Perusahaan ini tidak menerima pengkhianat.”
Semua yang mendengar itu langsung saja marah dan tidak menerima keputusan Amelia. Karena Amelia sudah pusing melihat tingkah laku mereka, Amelia langsung memanggil bodyguard-nya.
Sekarang ia tengah bersandar di kursi sambil memikirkan langkah selanjutnya yang akan ia lakukan.
“Aku harus menyelesaikan ini segera, tapi pada siapa aku memintai tolong?”

Back To The Past (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang