"Yang ini buat Hyeongjun kayaknya bagus deh, yang ini buat Kak Jungsu." Gumaman terdengar dari pojok ruangan. Di depan rak gantungan kunci, Jooyeon berdiri dengan wajah super serius. Dia sedang berada di toko suvenir, memilih pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang.
Puas melihat-lihat di rak itu, dia bergeser pada rak di sebelahnya. Sebuah gantungan kunci berwarna ungu menarik perhatiannya, gantungan kunci itu diletakkan paling depan, berbentuk cangkang kerang dengan tulisan nama pantai tercetak di atasnya. Warna ungu selalu mengingatkannya pada Seungmin. Mantannya itu sangat suka dengan warna ungu. Tapi entah kenapa apartemennya malah didominasi warna monokrom yang minimalis dan membosankan. Jooyeon pernah bertanya kenapa tidak dicat ungu saja. Dia tidak menduga jawaban yang akan dilontarkan Seungmin untuk pertanyaan asal bunyinya itu.
"Perlu tenaga dan waktu buat ngecat. Aku males ngecat sendiri dan nggak mau manggil tukang. Lagian nggak masalah mau warna apa, selagi kamu masih dateng ke sini dan nemenin aku. Mau warna apa aja nggak jadi masalah."
Sebenarnya tidak perlu diulang sampai dua kali pun Jooyeon sudah mengerti maksud ucapannya. Seungmin pernah menawari untuk tinggal dengannya, tapi Jooyeon masih tinggal bersama orangtuanya. Ibunya lebih suka dia berada dekat dengan keluarga dan tidak mengizinkannya untuk pindah. Jadi hampir setiap pekan, Jooyeon menginap di apartemen Seungmin. Mereka melakukan itu selama tiga tahun lebih, terhitung sejak mereka masih kuliah.
Jooyeon sudah sadar dari lama bahwa Seungmin takut ditinggalkan. Dia tidak pernah bilang. Tapi ekspresi wajahnya tiap Jooyeon akan pulang menggambarkan dengan jelas perasaannya. Mengetahui masa kecil Seungmin, Jooyeon paham betul kenapa dia bisa seperti itu. Namun dia benar-benar tidak pernah membahasnya. Jooyeon pun tidak mau mengungkit, dia tidak mau membuat Seungmin merasa terbebani dan dengan sabar menunggunya mengatakan sendiri. Sampai akhirnya mereka putus dan tidak ada pembicaraan apapun tentang itu.
Beberapa menit melamun dengan gantungan kunci di tangan, Jooyeon tersadar dan menggelengkan kepala. Dia mengembalikan gantungan kunci itu ke tempatnya, kemudian berlalu. Namun baru beberapa langkah menjauhi rak, dia berhenti. Dengan decakan, kembali dia berbalik pada rak dan mengambil gantungan kunci tadi.
Setelah membayar pernak-pernik nirfaedah yang dibeli cuma karena lucu, Jooyeon melangkah ke luar toko suvenir. Toko itu berada di dekat hotel, dan niatnya Jooyeon akan kembali setelah berbelanja. Tapi dia malah nyasar ke pantai. Dia bingung sendiri ke arah mana menuju hotel. Akhirnya dia pasrah dan memutuskan untuk berjalan-jalan saja di pantai.
Sudah setengah enam dan matahari hampir terbenam, tapi masih banyak orang yang beraktivitas di pantai. Ada yang duduk di bawah payung, ada yang tidak pakai payung, ada yang berenang, dan ada juga yang bermain voli pantai.
Biasanya, Jooyeon akan sok akrab bergabung dengan orang-orang yang bermain voli. Tapi mood-nya masih belum membaik sejak kemarin, jadi dia hanya duduk di bawah pohon dan menatap orang-orang dari kejauhan. Dia melepas sendal dan membiarkan pasir yang panas menyambut telapak kakinya, kemudian menenggelamkan diri dalam lamunan.
"Kamu nggak ngerti. Aku udah nyoba sabar, tapi nggak bisa. Aku nggak bisa kayak gini terus."
"Terus kamu mau gimana? Putus bukan jalan satu-satunya, Jooy. Kita bisa bahas ini baik-baik, cari jalan keluarnya sama-samaㅡ"
"Nggak, Seung! Nggak ada jalan lain. Kamu nggak pernah tahu rasanya jadi aku."
"There you go again, making everything about yourself. Aku tanya, kamu pernah nggak mikirin perasaanku sekali aja?"
Jooyeon menutup mata, dia memeluk lutut dan menguburkan kepalanya di sana. Argumen mereka dua minggu lalu masih menghantuinya. Jooyeon tahu dia salah, dia hanya lelah dan tidak tahu harus bagaimana dengan hubungan mereka yang terasa rumit. Bukan Seungmin yang membuatnya rumit; Seungmin selalu menemukan cara untuk membuat hubungan mereka baik-baik saja. Tapi justru di situlah masalahnya; hubungan mereka tidak pernah baik-baik saja. Setidaknya antara keluarga Seungmin yang tidak pernah mau menerima Jooyeon.
Ngomong-ngomong soal Seungmin, Jooyeon jadi bertanya-tanya dia sekarang ada di mana. Tadi siang mereka pergi masing-masing. Jooyeon menjelajahi toko suvenir dan Seungmin entah pergi ke mana.
"Ah, bodo amat!" Jooyeon mengacak rambut dan mengangkat kepala. Saat itulah dia sadar dengan kehadiran sepasang sepatu di depannya. Begitu mendongak, wajah menyebalkan Seungmin jadi yang pertama menyambut.
"Ngapain lo di sini?" tanya Jooyeon dengan sewot.
Seungmin menaikkan satu alis, kedua tangannya yang tadi ada di dalam kantong merentang. "Harus banget gue jelasin? Ini tempat umum," katanya.
Jooyeon tidak menjawab. Dia memasang sendal dan berniat pergi. Tapi Seungmin menahannya dengan menarik kerah bajunya.
"Aw! Masalah lo apa sih?!"
"Duduk, temenin gue." Hanya itu yang diucapkan Seungmin sebelum dia melepaskan pegangannya di kerah Jooyeon dan duduk di pasir. Jooyeon merapikan bajunya sambil menatap Seungmin dengan pandangan sinis. Tapi kemudian dia duduk di sebelah Seungmin tanpa mengatakan apapun.
Pada akhirnya mereka duduk berdampingan, menatap matahari yang terbenam dengan lambat. Angin semilir berembus, membawa aroma asin air laut dan udara dingin yang menandakan sudah saatnya bulan menggantikan tugas matahari.
Jooyeon dan Seungmin duduk diam, tidak mengatakan apapun, hanya menikmati kehadiran satu sama lain.
ೃ⁀➷ bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Setawar dan Sedingin | Odeyeon
Fanfic[bxb; o.de x jooyeon; drama, romance, hurt/comfort; mini-series] Jalan yang mereka lalui mungkin bukanlah jalan berbunga dan tidak akan selalu semulus yang dibayangkan. Tapi selama mereka masih bersama, masih mencintai satu sama lain sama besarnya...