03. Antara Gavin dan Alfa

132 6 0
                                    

Yuhuuuu ada yang masih stay?

***

Bibir tipis berwarna merah muda pucat mengapit sebatang rokok berukuran lebih besar dari rokok pada umumnya dan memiliki warna coklat gelap- senada dengan warna rambutnya. Di setiap embusan, Alfa dapat menikmati ketenangan seusai otaknya merasa penat dipaksa menyerap tiga pelajaran berbeda, belum dua pelajaran lagi yang harus dia serap sebelum mengistirahatkan diri di rumah.

Asap rokok yang dia embuskan mengangkasa bebas, Alfa juga menikmati pemandangan itu. Tidak seperti biasanya- Alfa hanya seorang diri di atap gedung sekolah- sementara teman-teman dia memilih kantin sebagai tempat beristirahat. Alih-alih mengisi perut, Alfa lebih menikmati benda mengandung nikotin ini. Baru beberapa jam dia tidak menghisapnya, mulut dia terasa asam dan hambar. Alfa dapat menghabiskan satu bungkus rokok lebih dalam sehari.

Bugh!

"Akh, shit!" Alfa memegang rahang dia yang mendapat serangan tiba-tiba.

Mata dia bergulir dan mendapatkan sosok manusia tak diundang terlihat murka. Sangat jelas siapa pelaku atas rasa sakit di rahangnya. Alfa menurunkan pandangan- dia melihat tangan Gavin mengepal sementara urat-urat tangannya sudah menonjol. Menyembunyikan ringisan, Alfa memasang wajah datar penuh intimidasi.

"Lo rupanya." Air muka Alfa terlihat tidak ramah. Lagipula, manusia mana yang mau beramah-tamah pada orang dibenci? Kalau bukan manusia itu memiliki niat terselubung.

"Kenapa? Mau lawan?" Terang-terangan Gavin menampilkan ketidaksukaannya.

"Ck, gue gak-"

"Kalo lo mau ngomong gak punya salah. Lo salah besar." Gavin menyela, nampak sudah tahu apa yang akan Alfa ucapkan. "Lo sakitin adek gue, artinya lo nyari masalah sama gue."

Terdiam beberapa saat. Alfa gunakan waktu itu untuk mencerna ucapan Gavin. Dia memperhatikan dengan seksama wajah tak asing Gavin. Mata sedikit sipit, bibir tipis dan sangat berbentuk, alis juga tipis. Great! Alfa dapat menebak siapa adik yang Gavin maksud! Dia menemukan banyak persamaan antara Gavin dan cewek kurcaci.

"Oh, adek lo." Intonasi sarkas sudah menjadi ciri khas Alfa jika sedang menghadapi musuh. "Bukannya dia sendiri yang salah?"

"Mau playing victim? Jangan, deh. Di sini udah jelas lo salah."

"Tau apa emang?"

"Tabrak adek gue sampe baju dia kotor, dia juga telat gara-gara lo. Jangan berpikir gue gak tau, anjing!" Emosi Gavin tersulut. Berhadapan dengan Alfa, selalu saja membangkitkan emosi walau Alfa tidak memukul. "Gue diemin lo malah nyari masalah. Lama-lama ngelunjak ya lo."

"Gue lagi gak mood ribut."

"Siapa yang ngajak lo ribut?"

Tak dapat menahan kemuakkan, Alfa merotasi bola mata. "Lo," pungkas Alfa sebelum dia membuang rokok. Melihat wajah Gavin hilang semua mood-nya.

"Gue gak suka nyari masalah. Gue cuma mau tau alasan lo kayak gitu sama adek gue. Just that. Abis itu jangan lagi nyari masalah sama gue apalagi adek gue."

"Adek lo yang nyari masalah duluan sama gue."

"Gak ada singa nerkam manusia kalo bukan manusia duluan yang nyari masalah!" Gavin menyergah. Dia tahu betul tabiat Gina. Gina, jangankan diganggu, tidak diganggu saja dia suka marah-marah. Hidup bersama gadis sensitif dari lahir membuat Gavin hafal bagaimana seorang Gina Marshallina Utami.

Alfa segera menancapkan tatapannya, dengan tenang dia berujar, "It wasn't on purpose."

"Jangan mancing emosi, Bangsat!" Alasan Alfa tak bisa Gavin terima. Lebih tepatnya, dia tidak percaya. Manusia manipulatif macam Alfa mana mungkin bisa dia percaya. Atau memang ... dianya saja yang tak bisa mempercayai Alfa?

Cigarettes and Strawberry MilkWhere stories live. Discover now