WISHES, Awal Segalanya.

34 2 5
                                    

Now Playing : Yang Terbaik Bagimu ( Ada band, Gita Gutawa )

Jakarta, 2013.

Suasana rumah kediaman keluarga Atmaja malam itu tampak dingin dan temaram. Sesosok wanita anggun sekitaran usia 45 tahun duduk di dapur, menyesap secangkir cokelat hangat, yang kini tersisa setengah.

"Mama, belum tidur?"

"Hai, sayangku. Mama nungguin Papa pulang, nak."

Gracia Atmaja, 15 tahun. Putri Tunggal keluarga Atmaja. dia merangsek masuk ke pelukan sang mama, mendusal manja sembari memejamkan mata. "Emang Papa pergi lagi, ya? Kan, tadi harusnya langsung tidur, sesudah ngobrol malem sama aku."

"Iya. Katanya ada urusan penting di kantor. Kok, kamu bangun lagi, nak?"

"Aku nggak tahu, Ma. Rasanya badanku agak lemes. hehe." cengiran Gracia muncul, walaupun matanya sedikit sayu. "Niatnya mau ambil obat dan air minum."

"Ah... Sebentar Mama ambil obatnya ya. Abis selesai, mama temenin kamu di kamar, deh."
Sementara Mama menyiapkan obat, pandangan Gracia mengedar ke sekeliling ruang keluarga. Entah kenapa, matanya terfokus pada pigura Sang Papa di dinding, foto yang paling Gracia suka karena itu adalah saat papa masih muda, tampan sekali.

Kringgg.
Dering telepon membuyarkan fokus remaja itu. Dengan segera ia beranjak, ingin tahu siapa yang menelepon selarut ini.
"Halo?"

"Apa benar ini kediaman Bapak Affandi Atmaja?"

"Ya. Benar. Saya putrinya, ada perlu apa dan dengan siapa saya bicara?"

"Kami dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa Pak Affandi terlibat kecelakaan. Wali pasien diminta datang---"
Gracia langsung histeris. Ia berteriak memanggil nama sang mama, sampai hanya gelap yang menemani sadarnya.

■■■■

Suasana Rumah Sakit riuh dengan suara ambulans yang bersahutan, terlihat dua brankar yang di dorong cepat dan bersebelahan.

Pasien pertama, affandi atmaja. Pria berusia awal 50 tahun, terkulai lemah dan penuh kesakitan, dengan darah yang tidak berhenti mengalir dari kepala dan bajunya yang robek di bagian dada. Menurut saksi mata, motor yang dikendarai ditabrak sebuah mobil sedan yang melaju kencang dan kecelakaan pun tak terelakkan.

Pasien kedua, Hansel Shenata. Remaja laki laki berusia 17 tahun, si pengemudi mobil. Saat ditemukan, Hansel terlihat lemas dan shock, langsung tak sadarkan diri sampai ke rumah sakit.

■■■■

Gracia menatap nanar langit langit kamarnya, dengan lelehan air mata yang seperti anak sungai di kedua pipi gadis itu. Suara lantunan doa terdengar sayup sayup, mengiringi upacara penutupan peti mati sang papa di ruang keluarga. Tadi, Ia ingat berteriak histeris minta supaya papa bangun dari tidur, berteriak tiada henti sambil memukul mukul pinggir peti, sedang mama hanya menatap sayu dan kosong ke arah pigura rangkaian bunga di altar jenazah.

"Pa, katanya besok mau pergi ke Dufan? Temenin aku wisuda kuliah? Anterin aku di hari pertamaku kerja? Nanti aku lakuin itu semua bareng siapa? Enggak bakalan bareng papa lagi?"
Gracia berbisik lirih dan bergetar, isakannya berlanjut lagi. Kali ini lebih lama dan sesak, meluap luap minta dilepaskan. "Aku dan Mama harus gimana, setelah semua ini? Papa nggak lagi berjalan di samping kami, harus seperti apa aku jalanin hari?"

Dan pertanyaan itu menggantung, tanpa pernah menemukan jawaban.

■■■■

Ruangan VIP atas nama Hansel Shenata itu nampak sunyi. Si pasien masih belum sadar, mungkin masih shock atas kecelakaan yang terjadi.

"Aku mau kecelakaan ini seolah menjadi kecelakaan tunggal, Ray. Kamu urus saja semuanya. Jangan sampai ada yang tahu bahwa Putraku, Hansel, menabrak kendaraan orang lain dan menyebabkan hilangnya nyawa. Ini tak akan baik untuk citra perusahaan, apalagi untuk karir putraku ke depannya, meski dia masih muda saat ini. Kau tahu sendiri bagaimana kejamnya media membuat berita."
Tuan Vegara Shenata menyahut lagi dari ponsel yang masih terhubung. "Hapus semua jejak. Pastikan bersih."

Lenguhan dari atas brankar menjeda fokus Pria itu, dilihatnya sang putra berusaha bangkit dari tidurnya. Kontan saja, Ia mematikan sambungan telepon dan beranjak menghampiri Hansel.

"Kamu nggak apa apa, hans? all is good?" tanyanya. "Kalau ada yang sakit, kamu harus bilang ya." sambungnya, sambil mengelus pelan rambut anaknya itu.

"Sepertinya okay, Pap. Tapi rasanya lemes banget. Aku kayaknya nabrak tadi, ya? Ada debuman kencang banget sebelum aku pingsan." Hansel mengerjap lambat, berusaha mengingat penyebab dirinya ada di rumah sakit.

"Ya. Untungnya kamu cuman nabrak pohon, tapi keras banget dan mobilmu sempet berputar arah mendadak, jadi agak ringsek." Vegara menjelaskan kronologis kecelakaan --palsu-- sedetail mungkin.

"Syukurlah. Aku gak luka parah, juga nggak nabrak orang." Hansel tersenyum lega, tanpa tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik penjelasan Papa.

■■■■

Sementara Hansel masih di Rumah Sakit, Keluarga Atmaja sudah bersiap untuk prosesi kremasi dan larung abu jenazah Affandi Atmaja. Herlina Winarko, sang istri, tampak masih tak percaya suaminya pergi secepat kedipan mata. Ia berusaha kuat untuk dirinya dan Gracia, tetapi melihat Gracia yang seperti mayat hidup setelah kematian Affandi sungguhlah sebuah pukulan telak.

"Gracia... Lepasin abu kremasi papa, ya.. larungkan, sayang... okay? Ikhlas, ya?" Ujar herlina pelan, berusaha tersenyum menatap Gracia, getir.

"Nggak, aku mau bawa pulang, mama."
Si gadis menggeleng lambat, suaranya sarat ketidakrelaan. "Papa gak pernah suka sendirian, mama." lanjutnya, "Papa janji mau bareng bareng kita dalam waktu yang lama! Kenapa pergi? Kalau Papa gak di tabrak, Papa masih---"

Sang Mama menyela cepat, sorot matanya lelah dan sedih, tetapi penuh ketegaran. "Ini Takdir, Sayang. Kita cuma bisa menerima dan berdoa buat Papa. Percaya, Papa pasti lihat kita, dampingi kita dari atas, Surga yang indah."

"Aku mencoba, Mama, tapi rasanya sulit."
Akhirnya, Gracia mencoba. Yang dikatakan Mama tentang ikhlas, Ia mencoba percaya. Bahwa Papa tetap mendampingi dirinya, sejauh apapun Hidup membawanya kelak.

See You♥️

WISHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang