WISHES, Berkecamuk.

10 1 26
                                    

Play the multimedia along with this chapter.

Pagi menjelang, dan suasana apartemen Grace masih sunyi. Penghuninya tampak masih lelap, dengan iringan dengkur halus dibalik selimut.

Hansel menggeliat pelan. Ia mengerjapkan mata seraya bangkit dari Sofa bed di sisi kiri tempat tidur Grace. Ia melangkah mendekat, kemudian tangan besar itu terulur dan merasakan suhu tubuh Grace yang masih hangat, meski tak setinggi kemarin.

Grace demam tinggi, nyaris menggigil kemarin malam. Hansel berjaga semalaman, bersama rasa khawatir yang tak kunjung surut.

Grace tetap kukuh menolak pergi ke rumah sakit, meski tiga orang yang ada di apartemen sudah mempersiapkan segala keperluan, memaksa dan membujuk dengan segala macam cara yang terpikirkan.

Hansel refleks mengumpat pada sosok David dalam hatinya. Ia menyesal tak datang lebih awal untuk menyelematkan Grace saat insiden itu terjadi, sehingga ia tak tahu sekeras apa benturan yang terjadi.

Hansel menyugar rambut, kembali teringat percakapan mereka semalam, sebelum serangan demam tinggi datang lagi pada wanita itu.

Seusai puas menangis dengan Hansel yang terus mengusap lembut punggungnya, Grace memundurkan tubuh seraya berucap lirih. Ia menelan saliva, "Maaf...maaf...aku nyusahin terus kalau lagi di fase kambuhan kayak gini..."

"Aku bakalan selalu ada di samping kamu. Kita semua bakalan bantu kamu. Apapun, kita ada buat kamu. Kamu cukup yakini itu saja, dan berjalan bareng bareng sama kami semua. Bukan berdasar rasa kasihan, Cantik. Tapi karena kami peduli. Kami peduli sama kamu, Kamu berharga. Nggak ada yang mau liat kamu luka. Aku, enggak bisa lihat kamu luka. Itu menyakiti aku juga. Cukup kamu coba untuk percaya itu ya?"

Grace kini terdiam. Perlahan, ia melepas tangan Hansel yang masih melingkari pinggangnya.

"Aku berkali kali pengin percaya, tapi juga terlalu takut dikecewakan ekspektasi. Jujur, rasanya melelahkan."
Grace menghela napas, kepalanya menunduk semakin dalam. "Bukan soal kepedulian dan persahabatan, lebih kepada soal mencintai dan cinta itu sendiri." Si perempuan kini semakin melebarkan jarak, sementara Hansel masih diam. Tak bergerak seinci pun dari posisi tadi, di sisi pembaringan Grace yang lain.

"Kamu cukup memulai lagi. Enggak ada kata terlambat memulai, dan enggak semua orang akan sama seperti yang dimasa lalu. Aku, temani, kamu, sampai, pulih. Aku mau jadi bagian proses pemulihanmu."

"Kenapa?" Ujar Grace, penasaran. "Kamu sepeduli itu. Kita baru kenal."

"Orang sering bilang aku sosok yang peduli, tapi aku enggak pernah merasa sepeduli ini," Si lelaki menggeleng, lalu ia melanjutkan lagi, "Kalau bukan sama orang yang menarik perhatianku sejak awal." Nadanya mantap. Ia mengucapkan itu sembari menatap manik mata almond milik Grace.

"Kamu tertarik padaku, Hans?" Grace kaget sendiri dengan kata katanya. terlalu cepat menarik kesimpulan, bodoh.

"Iya." Jawaban singkat namun lugas itu tak disangka akan naik dan mengisi rungu Grace, seolah sudah disiapkan sejak lama dan tinggal menunggu waktu untuk dikatakan. Ia sontak menegang, dibalasnya jawaban tegas itu dengan suara yang bergetar.

"Kamu tahu luka lukaku. Jadi jangan tertarik padaku, menyukaiku, apalagi mencintaiku." Grace menjawab, walau dia sedikit kepayahan. "Aku enggak pantas dan enggak akan bisa membalas sebentuk perasaan yang sama."

Hansel menuruni ranjang dan berjalan memutar ke sisi Grace. Ia menekuk satu lutut, mensejajarkan pandangan mata mereka.

"Aku enggak minta balasan. Aku cuma menjawab pertanyaanmu. Aku Tahu kamu punya luka. Aku mau kita sembuh bareng. Aku enggak minta apapun sama kamu atas obrolan kita malam ini, kan? kita kenal sebagai teman. Aku enggak mau kamu terbebani dengan jawabanku. Kamu sembuhkan dirimu, atur perasaanmu, biar aku yang atur perasaanku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WISHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang