Toxicity 1

55 11 4
                                    

Happy reading

***

Dierja sibuk memotret apa yang ada di sekitarnya, termasuk pajangan rokok-rokok tempo dulu yang tersusun rapi di dalam etalase

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dierja sibuk memotret apa yang ada di sekitarnya, termasuk pajangan rokok-rokok tempo dulu yang tersusun rapi di dalam etalase.

"Brand rokok banyak juga ya, dari dulu," gumamnya.

Aku mengangguk. "Itu tandanya orang-orang kita memang suka merokok."

"Pantas saja kalau bos rokok kaya raya," balas Dierja yang kini sudah mengarahkan kameranya ke arahku dan mulai memotret. "Kalau yang ini cuma ada satu, punyanya Dierja seorang."

Aku menatapnya jengah. "Kaya raya nggak?"

"Bangkrut, modal pacarannya banyak. Tapi bahagianya melebihi daripada sekadar punya pabrik rokok."

"Buaya banget."

"Kalau ke pacar sendiri sih nggak apa-apa."

Aku lantas menepuk pipinya pelan. "Oh ya? Pacar yang di cabang mana dulu nih, Bang?" tanyaku meyakinkan.

Dierja yang dasarnya memang jahil malah kesempatan menggodaku dengan berpura-pura berpikir lama, seperti bingung mau menjawab siapa. "Hm, yang mana ya?"

"Tuh 'kan, jawabnya lama. Selirnya pasti banyak!" kesalku membiarkan dia tergelak renyah sekali.

"Selir banyak sekali pun, permaisurinya juga tetap kamu."

"Lebih percaya kiamat tahun 2012."

Dierja semakin tertawa kencang. Kemudian dia mengacak-acak rambutku seenaknya. Membuatku melemparkan tatapan sengit, seolah-olah sedang berkata, 'Awas saja kalau rambutku kacau ya, Dierja'. Namun, pria itu mana peka. Dia justru beralih mengusap pipiku lembut.

"Cantik banget. Kalau bukan di tempat umum, sudah kukokop–"

"Hush, dasar mesum!" sebalku meninggalkan Dierja yang terkekeh dengan senangnya. Kata-kata seperti itu selalu membuatku malu, tapi Dierja justru akan semakin gencar menggodaku.

Fun fact saja, sejauh kami berpacaran, kami belum pernah sampai berciuman. Paling-paling juga berpelukan dan berpegangan tangan. Kami selalu mengingat-ingat bahwa usia kami sekarang ini masih sangat labil. Namun entahlah, mungkin nanti, ketika sudah benar-benar lulus sekolah hehe.

Dierja sendiri tetap berjalan mengikutiku dari belakang, masih dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sampai tak lama terdengar suara dering ponsel yang membuatku menoleh ke arah kekasihku. Dia sedang mengangkat teleponnya.

"Halo, Raya, kenapa?"

Aku sibuk menelaah ekspresinya yang mendadak berubah gelisah usai mendengar penuturan dari seberang.

"Sudah, nggak usah nangis. Aku ke sana."

Setelahnya, sambungan teleponnya terputus.

"Calandra, kita pulang yuk. Aku antar kamu pulang, ya?"

Toxicity - Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang