Toxicity 3

36 10 3
                                    

G'day, Mate!
Happy reading :D

***

"Raya lagi, Raya terus, semuanya selalu RAYA!" bentakku di akhir karena terlampau kesal.

"Maaf Calandra, tapi aku benar-benar nggak bisa tinggalin Raya sendirian di sini. Keadaannya makin parah."

"YA KALAU TAHU MAKIN PARAH KENAPA NGGAK MASUK KE RUMAH SAKIT JIWA AJA?!"

Dierja hampir saja menamparku saat itu kalau saja Raya tidak datang dan menghentikan tindakannya, sedangkan aku menatap marah ke arahnya. Aku buru-buru mendorongnya menjauh dariku, lalu berbalik untuk meninggalkannya.

"Calandra!" panggilnya yang jelas saja tidak akan kuhiraukan.

"Kamu nggak pernah mikirin perasaan aku," lirihku sebelum benar-benar pergi dari apartemen milik gadis berstatus sahabat terbaik kekasihku itu.

***

Di sinilah aku sekarang—sendirian—di antara ramainya pengunjung coffee shop tengah kota. Senja menemani kesendirianku. Melamun seperti orang kehilangan arah.

Kalau diingat sudah berapa kali aku dan Dierja bertengkar selama menjalin hubungan? Namun, sepertinya ini yang terparah. Aku tidak pernah melihat Dierja semarah itu padaku dan mungkin begitu pula sebaliknya.

Kesekian kalinya helaan napas lelah terdengar dariku, tapi aku tidak mau menangis. Lebih tepatnya, aku berusaha berpikir bahwa ini semua karena kami sama-sama masih labil. Cemburuku berlebihan, padahal Dierja berhak melakukan apa pun yang dia sukai. Harusnya aku tidak berhak mengekang dan mengatur hidupnya sedemikian rupa. Namun, impian itu—bagaimana impianku dengannya yang sudah kami perjuangkan selama dua tahun terakhir?

Setelah menerima pesan darinya, aku buru-buru menghampiri Dierja di apartemen Raya. Benar saja, dia masih di sana, bahkan membukakan pintu untukku. Aku sangat marah padanya sampai belum apa-apa langsung memaki Dierja.

"Kamu gila ya?" ucapku menatap nanar kekasihku.

Dia menggeleng, lalu menggenggam kedua tanganku. "Aku sudah buka hasil pengumumannya. Aku tahu kalau kita lulus sesuai dengan mimpi kita selama ini. Tapi, sepertinya aku berubah pikiran."

"Tapi kenapa, Ja?! Kenapa tiba-tiba kamu bikin keputusan sendiri kayak gini? Aku–aku–" Aku tidak mampu lagi membendung air mataku. Tentunya, Dierja langsung memelukku erat.

"Calandra jangan menangis," bisiknya sambil mengusap kepalaku.

"Aku merasa usahaku sia-sia kalau kayak gini. Aku belajar dari pagi sampai pagi lagi supaya lulus ujian dan bisa satu kampus sama kamu. Tapi kamunya malah tiba-tiba nggak mau satu kampus sama aku. Aku punya salah apa ke kamu? Kamu bosan sama–"

"Sttt... nggak ada kayak gitu. Aku nggak pernah bosan sama kamu, hanya saja..."

Dierja sempat menghentikan ucapannya dan menoleh ke arah Raya yang berdiri di dekat sofa memperhatikan kami. Aku langsung saja menatap sinis kekasihku, menelisik apa yang sedang dipikirkannya.

"Apa?!" tanyaku mengalihkan perhatian Dierja.

Dia sempat menunduk dan menghela napasnya. "Aku nggak bisa tinggalin Raya sendirian di kota ini. Makanya, aku nggak bisa ikut kamu kuliah di sana."

"Apa?!" Aku spontan memukul Dierja di dadanya, membuatnya sedikit terdorong menjauh dariku.

"Maaf Calandra, aku tahu kamu sudah memimpikan kuliah di sana dari lama. Jadi, kamu bisa pergi sendiri. Kita LDR dulu sementara waktu."

"Apa?!"

Lagi-lagi Dierja menghela napasnya. "Raya masih sakit, dia nggak punya siapa-siapa yang bisa jagain dia di sini. Aku mohon kamu ngerti."

Toxicity - Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang