"Yo! Sian! Mau kemana?"
Aku segera mengalihkan pandangan ke sumber suara, seorang anak perempuan dengan rambut lurus sepinggang diikat ke belakang menyerupai ekor kuda.
Tidak ada yang salah, sebelum pandanganku naik bersamaan dengan bibirnya yang dipoles lipstik merah muda yang mengkilap.
Ah, dia lagi—pikirku.
"Sekali-kali ikut kami jalan-jalan ke mall atau kafe," senyumannya makin lebar—senyuman sama yang aku tidak akan pernah suka, "Sudah remaja tapi begitu bel akhir berbunyi langsung berlari pulang.
"Dasar anak mama. Haha!"
Tiga perempuan lain yang tiba-tiba datang langsung menyahut dengan tawa keras, seperti biasanya. Dengan kata-kata yang sama pula. Aku hingga bosan.
Aku lebih memilih bergegas berdiri dan meninggalkan ruang kelas dengan gerombolan anak-anak lain. Terlalu merepotkan bila menuruti kemauan empat orang perempuan itu.
"Sian! Sian!"
Langkahku berhenti tepat di depan pintu gerbang ketika telingaku menangkap suara berat khas anak laki-laki dari arah belakang. Aku kembali mengalihkan pandangan.
"Ada apa—"
Duk.
"Lempar kesini!"
Sebuah bola sepak. Aku melirik sosok yang memanggilku tadi, anak laki-laki dengan baju olahraga yang melambaikan tangan dari arah lapangan. Bibirku terangkat sedikit dan kakiku melangkah mundur—memberi jarak sebelum menendang bola tadi dengan cukup tenaga.
"Oh!" salah satu laki-laki berseru melihat bola yang kutendang tadi melambung cukup tinggi.
'Seharusnya kena kepala,' aku membatin, 'Bila dia masih tidak bergerak dari sana.'
Kalian menyukai sepakbola?
Laki-laki menyukai olahraga tersebut adalah hal yang wajar, namun bagaimana bila perempuan yang menyukainya? Pasti tidak sedikit yang menganggapnya aneh. Memang begitu pendapat orang, namun kami tidak menghiraukan.
Hanya hal sederhana. Menendang, menggiring, berlari, dan merasakan bola sepak dikaki, menjadi sarana meluapkan emosi tanpa perlu kata.
Dahulu kupikir sepakbola hanyalah olahraga dan permainan yang sepele, yang bahkan pandanganku tidak ingin berpaling padanya. Namun suatu hari hal tersebut berubah drastis. Ketika justru melalui permainan itu aku−kami−menemukan hal berharga dalam hidup ini.
Misterius bukan?
Jumlah kami hanya tujuh, jumlah yang tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah tim dan memasuki pertandingan−walaupun aku ragu kami dapat mengikuti ketika jumlahnya telah cukup. Dan disinilah kami, di sebuah tanah terbengkalai yang kami ubah menjadi sebuah lapangan kecil dengan bantuan cat putih sisa pembangunan di kawasan megah diseberang jalan. Memekarkan senyum dan berlari melawan angin dengan canda tawa yang disalurkan melalui sebuah bola sepak yang tak tentu arahnya.
Tempat sederhana itu, sebuah lapangan kecil dengan rumah kayu tidak jauh di sebelahnya, kami sebut sebagai 'markas rahasia'. Tempat dimana kami menghabiskan waktu bersama, melepas penat setelah seharian melakukan kegiatan di sekolah masing-masing. Kami memang sekolah di tempat yang berbeda, hingga suatu dunia tak nyata yang berisi kabel serta data-data canggih menyatukan kami. Sebenarnya hanya berawal dari obrolan biasa, saling mencurahkan isi hati dan terkadang mencela lewat kata-kata serta foto maupun gambar.
Hal seperti itu sudah membuat kami tersenyum diantara masalah yang datang, seperti ribuan kupu-kupu menyeruak keluar dari kepala yang penuh algoritma dan aljabar. Hingga suatu hari kami memutuskan untuk berkumpul, dan disinilah kami sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Bonds
Mystery / ThrillerBila kau dikeluarkan dari lapangan karena hal tersebut dan tidak dapat bermain lagi, kami akan memilih untuk perlahan menyingkir dari posisi. Membiarkan pelatih berteriak, bola menerobos mencetak angka, dan tim lawan bergembira. Kami hanya akan berj...