Jarak yang biasanya berlalu singkat menjadi terasa amat panjang ketika aku berpisah dengan Rumi beberapa menit lalu. Tidak terbersit sedikit pun rasa takut, dengan jalanan yang sunyi ini ataupun dengan hiruk pikuk aktivitas binatang malam yang dapat kudengar langkahnya di pepohonan di pinggir jalan. Ayolah, sudah dua tahun aku terbiasa lewat jalan ini sehabis berkumpul dengan mereka berenam. Akan lucu jadinya bila tiba-tiba aku merasa takut dan tidak berani pulang ke rumah.
Ah, tapi perjalanan kali ini benar terasa sangat lama. Atau mungkin karena kondisiku hari ini tidak seperti biasanya? Entahlah.
"Kak Aldena!" teriakan nyaring dari seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun di atas tanjakan sana membuat kepalaku langsung menengadah. Dan sebuah senyuman lebar yang dipermanis dengan gigi depannya yang hilang langsung kutangkap.
Segera kupercepat langkah, sedikit berlari, dan mengangkat tubuh mungil itu tanpa perlu mengeluarkan tenaga yang berlebihan. Kucubit pipinya yang memerah karena hawa dingin dan menggendongnya menuju rumah yang berjarak hanya beberapa langkah di depan.
"Erik! Sudah berapa kali kakak bilang untuk menunggu di rumah saja?" aku memarahinya−kalau bisa dibilang begitu, walau aku tidak bisa sedikitpun tidak menunjukkan senyum pada adik manisku ini.
"Tapi di rumah sepi. Kak Mark dan Kak Dilan tidak mau bermain denganku," mata bulat di depanku ini langsung menunduk dalam, air mata perlahan keluar dari ujungnya.
Aku menghela nafas dalam. Penyebab tangis dari korban di dekapanku terdengar sedang berteriak cukup keras dari kamar mereka. Aku pastikan sekarang mereka sedang berkelahi karena tidak terima kalah bermain game sepakbola yang mereka tunjukkan kemarin.
"Kau kalah, Dilan! Lakukan hukumanmu!"
"Jangan bertingkah sok ya! Kau tadi kalah dua kali tapi tidak melakukan apa-apa!"
"Belum ada kesepakatan hukuman tadi!"
"Kalau begitu kau juga lakukan!"
"Kau duluan! Kau yang kalah!"
"Kau mau berkelahi, hah?!"
"Kau kira aku takut? Kuinjak seperti kemarin, tau rasa nanti!"
Tebakanku benar, 'kan?
"Kalian berdua, cukup!"
Tapi kesabaranku sudah mencapai batas untuk hari ini. Kuarahkan wajah Erik ke punggungku sebelum kuberikan pukulan kesal kepada dua anak lain yang duduk di depanku ini. Tidak terlalu kuat, namun cukup untuk membuat mereka meringis dan melirikku takut.
"Maaf, kak Dena. Kami tidak akan ulangi lagi."
Ucapan maaf, yang terdengar sedikit tidak tulus, keluar dari mulut mereka. Yah, setidaknya mereka tahu caranya untuk minta maaf. Walau kuyakin hal yang sama akan terjadi besok.
"Itu yang seri baru 'kan? Kata Gin, itu memang lebih susah dari yang sebelumnya. Ada tambahan banyak karakter dan keahlian yang baru."
Aku berkomentar seraya melangkah ke tumpukan koleksi game milik mereka tepat di sebelah televisi. Kuambil sebuah kaset game yang diletakkan paling atas−game yang paling sering mereka mainkan sebelum yang baru itu mereka dapatkan.
Sebuah game sepakbola−hadiah dari Gin sebenarnya−yang kudapatkan saat ulang tahunku. Hanya pernah kumainkan dua kali, sebelum benda itu jatuh sepenuhnya ke tangan dua adik cerewetku ini.
Aku menyukai sepakbola−tapi tidak dalam wujud game− dan ketiga adikku mengetahuinya. Orang tuaku? Kepulangan mereka dalam setahun bahkan dapat dihitung dengan jari tangan. Jangankan pulang, aku bahkan sempat berpikir bahwa mereka memiliki keluarga lain di negara seberang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Bonds
Mystery / ThrillerBila kau dikeluarkan dari lapangan karena hal tersebut dan tidak dapat bermain lagi, kami akan memilih untuk perlahan menyingkir dari posisi. Membiarkan pelatih berteriak, bola menerobos mencetak angka, dan tim lawan bergembira. Kami hanya akan berj...