Kami berdua melangkah berpisah dari yang lainnya. Menyusuri jalan beraspal yang kian menggelap karena minimnya lampu jalan yang dipasang. Rumah kami yang terletak di seberang bukit, memaksa kami untuk sedikit berjalan menyimpang dari rumah yang lain, yang terletak di sekitar pusat kota dengan penerangan yang maksimal.
Biasanya perjalanan kami tidak terasa sesunyi ini. Kami akan memenuhinya dengan cerita-cerita penuh tawa tentang latihan yang kami jalani, atau bahkan ejekan-ejekan kenapa diantara kami bertujuh belum ada yang memiliki kekasih. Lalu diantara candaan itu, kami akan sesekali mengoper bola yang sengaja kami bawa pulang untuk menemani perjalanan. Dan Aldena biasanya akan memamerkan keahlian-keahlian yang dia baru ketahui dari siaran televisi.
Sayangnya, tidak ada satupun dari hal tersebut yang dilakukan hari ini. Perjalanan kami terasa semakin sunyi. Tidak ada yang mau mengungkit kejadian yang ada.
"Seharusnya kita ambil satu bola sepak tadi," Aldena menguap lebar, kelakuannya berbeda jauh dengan gadis seumurannya yang biasanya berlagak centil dan berpakaian feminim dengan model terbaru, "Bosan. Sangaaat bosan! Bila aku bisa menjual rasa bosan ini, kurasa aku bisa kaya mendadak saat ini juga. Bahkan aku bisa berguling-guling di jalan karena terlalu bosan."
"Mau makanan ringan? Aku bawa beberapa camilan kentang, coklat, permen, lalu...," Aku mengaduk isi tas yang kubawa, menelisik setiap barang yang ada di dalamnya, "Ah! Tapi aku lupa tidak bawa minum."
"Ha? Serius? Lalu—ah, ya sudahlah. Aku minta coklatnya saja. Yang lain simpan untukku lain kali ya," Aldena segera mengambil coklat yang menyembul di tumpukan paling atas di dalam tasku, "Terima kasih!"
Yah, setidaknya aku sudah maklum−terlalu terbiasa−dengan sifatnya yang memang asal ambil tanpa perlu bertanya dulu ini. Coba kalau dia adalah orang lain, sudah kuhajar mereka.
"Enak?"
"Lumayan."
Percakapan kami kembali terhenti dan sunyi kembali mengisi. Aldena masih sibuk mengunyah sebatang coklat ditangannya, sedangkan aku memilih untuk mengalihkan pandangan dan menatap sekitar−mencoba untuk mencari sesuatu yang sekiranya dapat membuat diriku terhibur.
Jalan beraspal ini masih sama sepinya. Di jam seperti ini, paling banyak hanya satu dua mobil yang lewat, atau bahkan terkadang tidak ada yang lewat sama sekali. Langit yang memayungi di atas kami masih sama gelapnya, tidak ada satu bintang pun yang mau menampakkan diri, bahkan bulan pun lebih sering bersembunyi. Dan kesimpulannya, usahaku mencairkan suasana gagal total. Tapi biasanya Aldena akan peka tentang hal semacam ini.
"Rumi?"
"Hm?"
Tebakanku benar bukan?
"Pertanyaan pertama, apa yang lebih kuat dari lem dan bertahan sepanjang masa?"
"Hm.., getah karet?"
"Kedua, jika kau merusakku, aku tetap bertahan. Jika kau kehilangan diriku, hidupmu tak berarti. Siapakah aku?"
"Plastik?"
"Aku adalah keluarga yang kau pilih. Bila aku disampingmu, kau tidak terkalahkan. Siapakah aku?"
"Hewan peliharaan?" aku terkekeh mendengar ocehan pertanyaannya, "Kau seperti mengambil pertanyaan tersebut dari internet semalam, Dena!"
"Terkadang aku bingung harus menyebutmu bodoh atau tertular sifat polos Helia, Rumi," ia menghela nafas panjang, "Pertanyaan terakhir, aku susah ditemukan dan susah dilupakan. Apakah aku?"
"Hm? Kelihatannya aku pernah mendengar pertanyaan itu...," mataku membesar ketika akhirnya menyadari pertanyaan-pertanyaan yang aku terima sejak tadi, "Aldena—."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Bonds
Mystery / ThrillerBila kau dikeluarkan dari lapangan karena hal tersebut dan tidak dapat bermain lagi, kami akan memilih untuk perlahan menyingkir dari posisi. Membiarkan pelatih berteriak, bola menerobos mencetak angka, dan tim lawan bergembira. Kami hanya akan berj...