II. Enam Oktagon

2 0 0
                                    


Rasanya baru dua hari kemarin, ketika kami bermain bersama dipenuhi dengan canda tawa dan diakhiri dengan kalimat perpisahan untuk bertemu kembali pada hari Rabu ini. Memang melankolis, namun potongan-potongan memori yang belum terpendam, mulai kurakit kembali. Beberapa memori yang memang merekat erat dalam ingatan.

"Bel, aku ajari tendangan memutar yang tadi dong."

"Boleh! Berani bayar berapa nih?"

"Bella mata duitan ternyata."

"Asal kau tau ya, semua di dunia ini sekarang bergantung pada lembaran hijau itu, Nona Sian."

"Kalau begitu bayar hutangmu yang kemarin dong! Uangku nipis nih."

"Bella berhutang pada Helia? Serius?"

"Loh, berarti uang yang dipakai mentraktir aku kemarin itu hasil hutang? Astaga ckckck."

"Hei! Berhenti pasang wajah curiga seperti itu. Itu kan karena Sian tidak mau meminjamiku juga. Kau juga jangan buka aib, Al! Dan Rumi, berhenti mencibir tepat di sebelahku! Aku bisa dengar tau!"

"Udah, udah. Jangan habiskan energi yang tersisa untuk berdebat saja."

"Gin! Kamu malaikat penolong ku!"

"Bella emang mata duitan dari lahir kok."

"Bangke."

"Hush, perempuan harus menjaga kata-katanya loh."

"Daripada mengurusi itu, aku punya berita lebih menggemparkan untukmu, Bel."

"Apa? Apa, Li? Tumben perhatian."

"Celanamu robek sejak sesi kedua tadi, celana dalammu kelihatan jelas."

"He?! Serius?"

"Kau−bilang dari tadi, Kapten gosong!"

Aku sedikit tergelak, siapa sangka bahwa percakapan dikala itu merupakan memori yang tiada duanya. Memang hanya percakapan biasa, kekonyolan kami yang terjadi setiap kali bertemu. Namun kali ini, memori itu cukup untuk menumpahkan air mata.

Capung-capung mulai bermunculan, terbang menari-nari mengikuti satu sama lain, menikmati hamparan hangat sinar senja di musim panas. Matahari tak terlihat dimana ia berada, bersembunyi dibalik awan yang mulai menggelap. Angin menyingkir dari sekitar kami berenam yang kini berdiri berjajar.

Aku dan lima orang lainnya tiba disana. Tiga puluh menit lebih telat daripada waktu perjanjian pada jam empat tadi. Kami berdiri terdiam, niat untuk bermain sepakbola penuh canda tawa seperti hari-hari sebelumnya telah sirna.

Kami menatap tubuh yang tergolek lemas itu tidak percaya. Kengerian menghampiri benakku ketika aku mengingat bagaimana kondisi tubuh itu saat pertama kali ditemukan. Aku melihatnya. Aku melihatnya dengan mataku sendiri, bagaimana kondisi tubuh di depan kami yang hampir tidak terlihat seperti manusia lagi.

Pertama kukira itu hanya iseng belaka, ketika kulihat rambut pirang sebahunya telah dipangkas habis. Namun hal itu tidak berlaku ketika para polisi menggeser ke atas semak-semak yang menutupi bagian lututnya hingga ke bawah. Nafasku tercekat, disaat aku tersadar bahwa dugaan paling burukku memang terjadi. Kedua kakinya telah lenyap, ditutupi oleh semak-semak hijau yang sekarang berganti dengan kain putih tebal.

Pandanganku terus berjalan ke atas dan berhenti sejenak pada kedua tangannya yang juga ditutup oleh kain putih tebal. Aku tidak ingin menduga-duga lagi, karena dugaanku telah dibuktikan oleh bisikan-bisikan para polisi yang dapat kutangkap telinga. Kedua tangannya juga, telah lenyap.

Kukira hanya hal tersebut yang berada diambang batas kemanusiaan, hingga aku menangkap sesuatu yang ganjal pada bagian matanya. Mata yang tertutup itu sekilas nampak normal, bila mengesampingkan aliran berbekas merah yang cukup terlihat di sekitarnya, dan sebuah bola sepak terletak ditengah-tengah tubuh melingkarnya. Bola sepak dengan tanda tangan kami bertujuh yang jelas kuingat dari setahun lalu.

The Red BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang