Mega mendung kini terlihat. Sepasang mata memandangnya penuh sendu. Membayangkan peristiwa beberapa tahun silam.
Andai saja itu tidak terjadi, mungkin hidupnya akan sedikit lebih bahagia.
Suara bising di panti asuhan dari anak anak yang sedang bermain, bagaikan angin lalu bagi Aksara.
Dirinya terlalu menyelami memori kelam itu, sampai tidak menyadari bahwa seorang malaikat kecil sedang memanggilnya.
"Mama!" Panggil seorang anak kecil berumur tiga tahun.
Merasa tidak ada jawaban dari subjek yang di tuju, anak kecil itu kembali memanggil.
"Mama!" Panggilnya lagi sembari menyentuh tangan orang yang di panggilnya mama.
Aksara berjengkit kaget, menatap anak kecil itu. Menatap bingung padanya yang memanggilnya 'mama'.
"Ya ampun, Arsha. Kemari nak, itu bukan mama mu." Kata ibu ibu yang seperti pengasuh anak tersebut.
Ibu itu mulai menggendong anak kecil yang di panggilnya 'Arsha'. Lalu menatap hangat Aksara yang tengah kebingungan atas insiden tadi.
"Maaf, mungkin Arsha mengejutkanmu nak." Ucap ibu itu tidak enak. Aksara hanya mengangguk sembari tersenyum tanda tidak apa apa. "Arsha memang selalu seperti itu." Lanjutnya, kemudian menatap Arsha yang sedang asik bermain rambutnya dengan tangan kecilnya.
Aksara menatap bingung ibu itu. "Apa maksudnya bu?" Tanya Aksara penasaran. Ibu itu terlihat menghela nafas sejenak, lalu beralih duduk di bangku taman panti asuhan yang terletak tidak jauh dari kursi roda Aksara.
"Setiap kali Arsha berjumpa dengan perempuan kira kira seumuran denganmu, ia selalu memanggilnya dengan sebutan 'mama'." Jelas ibu itu menatap kasihan pada Arsha.
Aksara hanya terdiam, ikut menatap iba pada Arsha. Aksara berpikir dimana kedua orang tua Arsha sekarang? Apa mereka tidak memikirkan Arsha? Ataukah mereka tidak ingat pada Arsha? Sungguh orang tua yang jahat.
Aksara kembali menatap anak kecil itu, mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan pipi bulat Arsha.
Melihat Arsha, Aksara jadi teringat dengan seseorang yang harusnya sudah seusia Arsha. Seseorang yang seharusnya hidup bahagia dengan papa mama nya. Seseorang yang harusnya lahir ke dunia, dan melihat betapa indahnya bumi ini. Bumi tempat papa dan mama nya tinggal. Sayangnya takdir terlalu jahat, telah merebutnya dari Aksara.
"Nak, kau tak apa?" Tanya ibu itu pada Aksara. Aksara hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi.
"Mama!"
Aksara dan ibu itu menoleh pada Arsha, yang sedang menatap Aksara dengan mata bulatnya.
"Arsha rindu sama Mama ya?" Tanya Aksara tersenyum sembari menepuk pelan puncak kepala Arsha.
Arsha menanggapi dengan memiringkan kepalanya, lalu mengangguk lucu sembari tertawa dan bertepuk tangan.
Hati Aksara terasa sesak melihat tawa Arsha, entah karena apa. Ia terkekeh pelan menatap Arsha yang begitu lucunya menepuk nepuk lengan wanita yang menggendongnya dengan tangan kecilnya.
"Baiklah, ayo makan! Sepertinya Arsha sudah lapar, hm?"
"Ya! Ayo bu!" Arsha menjawab dengan riang sambil bertepuk tangan.
Ibu itu lalu beranjak dari bangku taman, dan menatap Arsha. "Sebentar, Arsha. Kita pamitan terlebih dahulu sama kakak cantik ya?"
Arsha mengangguk paham, lalu beralih menatap Aksara. "Kakak, Alsha mamam dulu yaa," ucapnya sambil memegang bibir kecilnya. "Dadaaa!!!" Lambai Arsha dengan senyum lembutnya.
Aksara hanya mengangguk sambil tersenyum untuk menanggapi, tak lupa untuk membalas lambaian dari Arsha.
"Jaga dirimu ya, Sampai bertemu kembali." Pamit Ibu itu disertai senyuman hangat, yang dibalas Aksara dengan anggukan.
✾✾✾
"Puas kau sudah merebut masa depan anakku?" Tanya seorang wanita yang berumur 45 tahun itu.
Lelaki didepannya hanya melirik sekilas, "Itu hanya sebuah kecelakaan, Nyonya Gavika Pinggala," jawabnya tenang.
Vika menggebrak meja dengan penuh amarah, "sebuah kecelakaan kau bilang? Kau bahkan dalam keadaan sadar saat itu. Kuingatkan sekali lagi jika kau lupa, Tuan Gazza Mahatma," ucapnya dengan penuh penekanan.
Gazza hanya memutar bola mata malas, lelaki yang sudah hampir menginjak usia 49 tahun itu terlihat terkekeh, "aku bersedia bertanggung jawab jika kau mengizinkan,"
Vika menatap nyalang Gazza, "kau sedang bertanggung jawab sekarang, Gazza. Apa kau tak ingin membuka matamu jika kau saat ini tengah berada di penjara?" Tanya Vika dengan nada yang terkesan meremehkan.
Gazza yang mendengar itu spontan tertawa terbahak-bahak, terdengar bunyi nyaring dari borgol yang melingkari kedua pergelangan tangannya yang ia gunakan untuk menepuk nepuk meja.
Vika yang melihat itu hanya menatapnya datar. Dasar, pria gila. Nyinyir-nya dari dalam hati.
"Mengenai perpisahan kita, aku sudah urus itu sampai tuntas. Besok surat perceraian kita akan keluar, kau hanya perlu menandatanganinya." Ucapnya tiba tiba sambil menatap lurus kedepan.
Gazza spontan berhenti tertawa, ia berdehem sebentar lalu menatap dalam Vika, "Kau yakin?"
Vika tampak mengangguk, "Untuk apa aku masih mempertahankan pria bajingan seperti dirimu? Cih, tak ada gunanya sama sekali bagiku," Tukasnya dengan tegas.
"Bagaimana dengan hidupmu? Kau yakin bisa hidup tanpa kemewahan?" Gazza bertanya dengan nada menantang.
Vika menarik satu sudut bibirnya untuk tersenyum, "Kau pikir aku tak punya usaha?" Vika kemudian beranjak berdiri dari duduknya.
"Masih punya ternyata," Gazza tampak menghela nafas mendengarnya.
"Jangan kau urusi hidupku dan anakku lagi. Urus saja hidupmu yang menyedihkan itu. Selamat menikmati tempat tinggal barumu, Tuan Gazza Mahatma." Ucapnya kemudian berjalan pergi meninggalkan sel penjara.
"Tempat tinggal baru?" Herannya sambil menunduk. Lalu menatap sekitarnya. Cahaya remang remang tampak menembus atap bangunan, dinding yang berwarna kelabu menambah kesan suram. Tatapannya kemudian berakhir di lantai yang nampak dingin dan tak bersahabat itu. Ia sadar, bahwa saat ini dan seterusnya ia akan menetap di penjara.
彡彡彡
ₚₑₛₒₙₐ ₜₐₙₐₕ ⱼₐwₐ.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴍʏ ʙᴜᴛᴛᴇʀꜰʟʏ
Novela JuvenilTentang kita dan Bandung kala itu. Note: [Masa Revisi]