POV Aksa
Khevano Pramudita. Apa yang ada di benak kalian tentang seorang Khevano Pramudita?
Kalau menurut gue pribadi, dia orang yang ceria. Kepribadiannya selalu santai. Hidup dia tuh seakan akan nggak ada beban sama sekali. Padahal gue yakin, ada banyak beban yang sekarang lagi dia pikul di pundaknya.
Kalau gue tanya kenapa lo bisa sesantai itu? Jawaban dia selalu aja gini Hidup cuma sekali, nggak ada waktu buat gue mikirin beban yang ada di hidup gue. Mending di bawa santai aja biar nggak stress. Gitu katanya.
Terkadang gue iri sama Khevano yang bisa sesantai itu. Nggak takut sama apapun yang bakal terjadi. Dan dengan rileks nya berbaur sama orang orang di sekitarnya.
Nggak seperti gue yang tiap kali was-was kalau mau berbaur sama orang orang. Hati gue selalu nggak tenang dan cemas. Jujur, gue bukan tipe orang yang pandai bergaul. Temen gue pun cuma anak anak kelas gue aja. Sahabat? Ya, hanya mereka bertiga. Khevano, Renjana, dan Abian. Itupun mereka yang ngajak kenalan lebih dulu.
Tentang Khevano, gue juga jadi kepikiran sama dia lagi. Gara gara Abian yang tanya gimana nasib Khevano setelah di tinggal ayahnya.
✗✗✗
"Gimana pemakaman ayah lo dua hari lalu? Maaf, gue nggak bisa dateng." Tanya Abian dengan nada menyesal.
Vano tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan dan permintaan maaf dari Abian.
"Santai aja, nggak perlu sampai minta maaf gitu. Pemakaman ayah gue, lancar lancar aja tuh. Untung aja dia masih di terima bumi. Setelah apa yang dia lakuin ke ibu gue," Jawab Vano dengan senyum remeh sembari menunduk menatap tanah yang kini ia pijak.
"Van, lo nggak boleh gitu sam-"
"Apa yang gue omongin itu bener, Bi." Potong Vano dengan nada lirih.
"Tapi, dia tetep ayah lo." Ucap Aksa dengan sorot mata kecewa.
"Tenang, gue masih nganggep dia sebagai ayah, kok." Jawab nya dengan nada santai.
Aksa, Abian, dan Renjana menatap nanar Vano. Mereka tau, Vano masih merasa kecewa dengan ayahnya. Kesalahan yang ayahnya perbuat di masa lampau tidak pernah bisa ia maafkan.
Ibunya depresi karna ayahnya terus menerus menjadikan ibunya sebagai bahan pelampiasan ketika ayahnya sedang marah. Ibunya dicambuk puluhan kali, ibunya dipukul ratusan kali. Beberapa kali ayahnya mencoba untuk membunuh sang ibu, dan beberapa kali juga sang ibu di selamatkan oleh Vano.
Ibunya terus di tekan batinnya dan di sakiti fisiknya oleh sang ayah. Ibunya pernah ada niatan untuk bercerai dengan sang ayah. Tapi niat itu di tolak mentah mentah oleh ayahnya. Ayahnya mengancam akan membunuh Vano, jika saja ibunya berani bercerai dengan ayahnya. Vano yang saat itu masih duduk di bangku kelas 4 SD, tentu tidak bisa berbuat apa-apa mendengar ancaman sang ayah. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti akan hal seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴍʏ ʙᴜᴛᴛᴇʀꜰʟʏ
Dla nastolatkówTentang kita dan Bandung kala itu. Note: [Masa Revisi]