Bab 5

214 6 0
                                    

"Kenapa?" tanyaku setelah sampai parkiran. Aku berdiri di sebelah kanan, persis disebelah pintu kemudi. 

"Masuk!" perintahnya. 

"Nggak mau!" balasku tegas. "Saya nggak mau kejadian kayak kemaren terulang lagi, Bapak Bos!" lanjutku sinis. 

Marcel memejamkan matanya kuat-kuat. Kulihat ia menghembuskan nafas dengan kasar. "Gue janji nggak bakal ada kejadian kayak kemaren! Cepetan naik!" perintahnya lagi. 

"Tunggu dulu. Mau ambil tas, kali aja gue diculik. Jadi gue bisa telepon keluarga atau temen gue buat dimintai tolong," kataku pelan. Aku lalu berbalik arah ke dalam kantor, dan mengambil tasku dari sana. 

Tak lama aku telah berada di dalam mobil Marcel. Entah kemana dia akan membawaku. Aku hanya bisa berdo'a, semoga dia tidak membawaku ke apartemen ataupun tempat tertutup lainnya. 

"Gue itu cinta banget sama Andini. Tapi nggak tau kenapa dia malah ninggalin gue gitu aja. Dan lo tau? Lo sama Andini itu mirip," katanya sambil menatap lurus ke jalan raya. 

Mirip? Nggak salah? 

"Dimana miripnya? Perasaan cantikan gue. Tinggian gue, mukanya juga mulusan gue," sahutku ketus. Aku membuang muka ke arah jendela kiri. 

"Kalian sama-sama berasal dari ekonomi bawah," katanya pelan. "Dan saat liat lo, gue jadi ngerasa kayak liat Andini lagi. Makanya gue ngelakuin hal kayak kemaren."

"Move on, dong. Gue bukan Andini!"

"Gue udah move on. Perasaan gue sekarang ini bisa dibilang benci. Benci aja kalo inget Andini atau orang yang mirip Andini."

Bulu kudukku langsung meremang. Aku melihat takut-takut ke arah Marcel. "Lo benci sama gue? Tapi gue bukan Andini. Lo harus inget, gue Kaila Anastasya. Bukan Andini!" kataku penuh penekanan. 

"Gue tau. Sekarang gue lagi berusaha buat nggak ngehubung-hubungin lo sama Andini," katanya, ia menghembuskan nafas dengan kasar.

"Jadi kemaren itu lo mau perkosa gue karena menurut lo gue mirip Andini?" tanyaku. 

"Iya."

"Terus kenapa nggak jadi?"

"Lo mau gue perkosa beneran?" tanyanya sambil tersenyum miring ke arahku karena sekarang kami sedang berhenti di lampu merah. 

Aku menggeleng ketakutan. "Enggak! Bukan, maksud gue bukan gitu," kataku terbata-bata. 

"Gue masih bisa waras, gue masih inget kalo lo itu Kaila bukan Andini," katanya. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. 

"Lo masih benci gue?" tanyaku hati-hati. 

"Kadang-kadang iya."

Deg!

Mampus ini Kai! Mampus! Hati-hati lo bisa diperkosa, Kai! Waspada! 

Aku menelan ludahku kasar. Dengan takut-takut aku melirik ke arah Marcel, cowok itu masih fokus melihat ke depan meski sekarang sedang lampu merah. 

"Kita mau ke mana?" tanyaku. 

"Nggak tau."

Aku mendengus kesal. Kuraih ponselku yang ada di dalam tas, lalu aku bermain game online. Aku menggunakan earphone supaya lebih fokus dalam bermain. 

Kami tidak terlibat obrolan lagi. Masing-masing dari kami lebih memilih untuk diam. Aku tidak memperhatikan jalanan, fokusku hanya pada layar ponsel. 

Hingga suara Marcel menyadarkanku. "Ayo, turun!" 

Aku melihat sekeliling dengan bingung. Restoran Turki? Aku menyimpan ponselku di dalam tas, lalu keluar mobil masih bingung. 

Marcel berjalan masuk ke dalam restoran, sementara aku mengekorinya dari belakang. 

Terjerat Pesona CEO Ganteng (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang