Bab 9

184 6 0
                                    

Aku duduk di ruang makan mewah milik keluarga Marcel dengan perasaan tegang. Disini hanya ada ibunya, karena ayahnya sedang di kantor. 

Ibunya sengaja memaksaku untuk sarapan bersama karena beliau belum sempat sarapan dikarenakan alasan apa aku juga tidak tahu. 

"Jadi ini yang namanya Kaila?" kata ibunya sambil tersenyum manis ke arahku. 

Marcel cerita apa saja tentang saya, Tante? 

Ingin sekali aku bertanya seperti itu.

"Iya, Tante. Kaila," jawabku sambil tersenyum manis pula. 

Ibunya sungguh sangat cantik dan elegant. Tentunya ramah. Dan aku merasa aman disini, dalam artian tidak terintimidasi. 

"Lebih cantik aslinya kan, Ma?" tanya Marcel sambil merangkul bahu ibunya lalu mencium pipi kanan ibunya. Ia baru selesai mencuci tangan di wastafel. 

"Fotonya juga cantik, kok. Sama cantiknya," sahut sang ibu sambil menuang nasi dan lauk pauk ke dalam piring. Dan beliau pun mengambilkan nasi untukku dan Marcel juga. "Lauknya pilih sendiri ya, Kaila. Nggak usah sungkan. Anggap aja rumah sendiri," lanjutnya. 

"Makasih, Tante." Aku melihat berbagai macam jenis lauk yang ada di atas meja. Ternyata seperti ini menu orang kaya. Aku heran, apa menu sebanyak ini akan habis? Kalau tidak habis, kan, mubazir. 

Marcel mengambil duduk di sebelahku. Ia mulai mengambil lauk ke piringnya. Nasi di piringnya hanya sedikit. Tapi lauknya banyak sekali. Sehingga membuat piringnya hampir hilang. 

Sebenarnya wajar, sih. Karena ia laki-laki. Toh Bang Khai dan Kenzi juga makannya banyak. Tapi bedanya menu saudaraku yang banyak nasinya, sedangkan Marcel banyak lauknya.

Sementara aku hanya mengambil gulai kambing dan lalap kemangi saja. Karena biasanya aku memang selalu makan hanya dengan satu lauk saja. 

"Kaila, makasih, ya." Ibu Marcel yang namanya belum kuketahui menatapku hangat. "Karena kamu, Marcel jadi berubah lebih baik. Bisa mulai usaha sendiri, walaupun awalnya Om Tante nggak setuju sama usahanya, tapi akhirnya kami menyerah. Karena Marcel sudah dewasa, sudah bisa ngambil keputusan sendiri."

Aku menginjak kaki Marcel kuat-kuat. Dan Marcel tidak kesakitan, malah ia mengelus kakiku menggunakan kakinya yang lain. 

"Masa, sih, Tante?" tanyaku tak percaya. 

Ibu Marcel mengambil gelas air minum, lalu meminumnya. "Tante serius. Nggak bohong," ucapnya. 

Aku hanya bisa merespon dengan tersenyum saja. Kulihat Marcel sedang menatapku sambil tersenyum manis. 

Kemudian kami kembali melanjutkan makan. Barusan kuketahui kalau ibu Marcel berprofesi sebagai arkeolog. Beliau sangat mencintai sejarah. 

Aku sempat heran, beliau arkeolog. Lalu kenapa tidak setuju dengan Marcel yang mengambil kuliah jurusan perikanan? Dan malah memaksa Marcel untuk sekolah bisnis? 

"Kai, Tante duluan, ya. Ada kerjaan soalnya," katanya setelah selesai makan.

"Oh, iya, Tante," sahutku. 

Saat ini kami telah selesai sarapan. Marcel langsung membawaku ke taman belakang rumahnya. Sementara ibunya langsung pergi ke luar karena ada pekerjaan. 

"Kamu ngomong apa aja ke Mama kamu?" tanyaku saat kami sudah duduk di bangku taman. 

"Ngomong kalo kamu itu calon istri aku."

Aku mendengus kesal. Aku tidak berniat menyahuti perkataannya. Yang kulakukan selanjutnya adalah melihat-lihat beraneka bunga yang tumbuh disini. 

"Bunga-bunga disini tuh bunga yang bisa di makan," kata Marcel sambil memetik setangkai bunga entah apa, karena aku tidak tahu namanya. 

Terjerat Pesona CEO Ganteng (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang