Bab 21

113 5 0
                                    

Aku tidak habis pikir dengan adikku ini, ternyata ia sudah terlalu bucin pada pacarnya itu. Kasihan sekali Kenzi ini. 

"Udah, dong, galaunya." Aku menjawil lengan Kenzi. Sudah hampir tiga puluh menit kami disini. Sedari tadi kami sering di klakson oleh pengendara yang lewat. Rasanya bosan dan juga ada rasa tidak nyaman.

Kenzi masih saja diam sambil memandang lurus ke depan. Dia tak menghiraukan aku sama sekali. Sepertinya ia benar-benar galau. Aku tidak tahu harus menghiburnya seperti apa.

Huh! Menemani orang yang sedang patah hati itu sangat menyebalkan. Untung saja ini adik sendiri, jadi sayang. Kalau bukan, sudah aku tinggal sendiri dari tadi.

"Kenzi... Pulang, yuk! Udah malem, nih! Ntar sampe rumah kamu bisa melanjutkan galau." Aku terus mengoceh untuk mengajaknya pulang. Selain bosan, ada rasa tidak nyaman juga berlama-lama disini. Bagaimana kalau kami didatangi preman? Mana aku tidak membawa uang. Mau ngasih apa, coba?

"Ya udah, ayo pulang." Akhirnya Kenzi bersedia pulang juga. Ia lalu menaiki motornya, dan aku pun bergegas duduk di boncengan. 

Hari benar-benar sudah beranjak malam. Menyeramkan sekali. Semoga kami selamat dari begal dan rampok. Amin.

Sesampainya di rumah aku tidak bisa langsung tidur, karena aku mendengar suara berisik dari dalam kamar Kenzi. Seperti suara barang-barang yang dibanting. 

"Berisik!" Aku menutup kedua telingaku dengan bantal. Sebenarnya aku ingin menggedor pintu kamarnya, tapi aku malas turun dari ranjang. 

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Kenzi se-bucin itu. Pasalnya saat ia putus dengan pacarnya yang pramugari itu tidak segalau ini. Sebenarnya jampi-jampi apa yang dipakai Mbak Polwan ini untuk memelet adikku? Apakah dengan kasih sayang palsu atau apa? Jadi penasaran.

Sepertinya Kenzi sudah kehabisan barang untuk dilempar, karena sudah tidak ada suara bising lagi dari dalam kamarnya.

"Syukurlah." Aku merasa lega sekarang. Waktunya tidur. Besok kerja.

🌷🌷🌷

"Sudah baikan?" tanyaku sambil mengunyah roti sobek dengan selai cokelat. Aku melihat Kenzi yang berjalan menuju arah kulkas. Kemudian ia mengambil sebuah apel dari sana. Lalu memakannya.

"Cukup baik," jawab Kenzi. Ia duduk di seberangku sambil terus mengunyah. "Nggak ada nasi?" tanyanya sambil melihat ke atas meja makan yang kosong.

Aku menggeleng. "Aku kesiangan. Nggak sempet masak," jawabku. Lagipula aku kesiangan juga gara-gara dia, kan? "Beli aja kalau laper!" usulku. "Beli dua, satunya untuk ayah. Kasihan ayah pulang-pulang nggak ada makanan. Pasti laper semalaman bertugas."

"Jangan bilang-bilang masalah tadi malam ke siapapun, oke? Awas kalau sampai kesebar!" Kenzi lalu berlalu dari hadapanku menuju kamarnya.

Aku mengangkat bahuku sambil mengunyah rotiku. Sebenarnya perutku ini adalah perut Indonesia. Yang mana jika belum diisi nasi maka belum kenyang. Tapi berhubung aku tidak sempat masak, mau bagaimana lagi. Untuk sementara, makan roti saja tidak apa-apa lah. 

"Kenzi... Aku berangkat kerja! Jangan lupa beres-beres rumah!" Aku berteriak dari lantai bawah, namun tidak ada sahutan dari adikku itu.

Aku lalu bergegas menuju cafe dan meninggalkan Kenzi sendirian di rumah. Biarkan adikku itu menikmati galaunya sendiri. Sepertinya ia sedang butuh waktu untuk sendiri.

🌷🌷🌷

Hari ini aku mengunjungi perikanan Marcel. Kalau biasanya Marcel yang mengunjungiku, sekarang giliran aku yang mengunjunginya. 

Terjerat Pesona CEO Ganteng (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang