Tia duduk termenung di balik buku diara ibunya. Kalimat demi kalimat dari dalam buku pelan-pelan menyusun bayangan seorang wanita yang paling ia rindukan. Ibu tersenyum, senang melihat putri semata wayangnya. Pucuk kepala Tia dielus lembut, tangan ibu menangkup wajah Tia yang lesu. Ibu mengangguk, mengerti tanpa perlu penjelasan. Mendadak dadanya terasa sakit. Kedua mata Tia hangat dan berair.
“Aku cuma butuh ibu,” batinnya. Kalau saja ibu masih ada, bumi dan langit hancur sekalipun rasanya tak masalah. Sekarang ketika ibu tak lagi ada, masalah kecil serasa berkali-kali lipat bebannya.
“Halo, kakak!” Imelda menyapa dengan suaranya yang lantang dan ramah, tak peduli orang yang disapa hanya diam keheranan. “Kakak dapat traktiran dari bos saya! Gimana, senang nggak?” tanya Imelda saat menyerahkan sepotong brownies di atas piring kecil.
“Bos, siapa?” Tia bertanya.
“Itu yang tadi nyamperin kakak,” jawab Imelda. “Kakak ini siapanya bos saya? Temannya? Pacarnya? Perasaan nggak pernah nampak.” Imelda menyelidiki wajah perempuan di hadapannya, mengingat-ingat apakah ia pernah lihat customer berwajah begitu
“Abangnya Kiara?” Tia memastikan.
“Betuul! Karena kakak betul kakak dapat brownies!” Imelda bertepuk tangan, berbahagia sendiri, tidak sadar bahwa barusan itu garing.
Tia geleng-geleng kepala, tak menyangka bahwa laki-laki itu belum berhenti mengusiknya. Memilih untuk tidak terlalu memikirkannya, Tia menyeruput kopinya yang sudah tinggal setengah.
“Bos lo kurang kerjaan, ya?” ternyata Tia tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Hmm…” sesaat Imelda berpikir. “Iya, sih. Memang kurang kerjaan dia. Tapi kakak kan kenalannya, wajarlah dikasih bonus. Kalau kakak mau kakak boleh promosikan café kami ini ke instagram kakak. Udah mulai sepi kurasa tempat ini.” Imelda menghela napas, “Jangan lupa ditag ya, Kak! Kalo gitu, saya pamit dulu.” Imelda beranjak dari tempatnya menuju meja kasir.
Imelda tiba di meja kasir dan langsung saja ditodong Alvin yang sudah penasaran sejak tadi. “Buku apa yang lagi dia baca?” Alvin sambil melirik-lirik ke arah meja nomor lima.
“Kayaknya bukan buku yang diterbitin gitu, Bos.” Imelda masih mengira-ngira buku apa yang terus-menerus digenggam oleh teman bosnya itu. “Kayaknya itu buku PR-nya, Bos! Iya, pasti buku PR!”
“Ah, yang bener, Mel!”
“Iya, Bos. Serius aku!”
Alvin memicingkan mata, sangsi. Imelda memang orang yang jujur tapi bagaimana kalau dia salah? Lagi pula kenapa juga Alvin kepo? Tapi, ya sudahlah. Kalau tiba-tiba berhenti sekarang, sudah terlambat. Itu malah akan membuat Alvin kepikiran. Akhirnya ia memutuskan untuk berusaha sendiri dengan menggeser posisinya ke arah Tia berada supaya ia dapat lebih fokus untuk mendengar pikiran perempuan itu. Tak butuh waktu lama, Alvin pun mendapat jawab. Hatinya ikut pilu.
Ah, ia ingin memeluk Tia sekarang juga.
***
Menurut Tia agak membingungkan bagaimana satu tempat dapat memberikan rasa dan kesan yang berbeda pada tiap orang. Contohnya sekolah. Bagi Tia sekolah rasanya sangat membosankan dengan kegiatan-kegiatannya yang monoton dan tidak ada yang menarik. Namun kamu akan mendapat jawaban berbeda jika mengajukan pertanyaan yang sama bagi Kiara. Buat Kiara, sekolah adalah media bermain. Dia dapat mengeksplor apapun yang ia mau di sekolah. Sekolah bagi Kiara adalah harta karun yang tak pernah habis. Kini perempuan itu tengah berbincang-bincang dengan objek-objek harta karunnya, ketua kelas beserta teman sebangkunya, Yulia dan Anggi. Sementara Tia seperti yang kita semua perkirakan, tengah tertidur pulas di atas meja belajarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
At the Moment
TeenfikceWe just know each other very well and we know how hurt it is.