1. Jadi... Masih Tetep Mau Dianterin?

56 5 0
                                    

Suara khas di pagi hari menyentuh kesadaran Tia. Anak perempuan itu terjaga pukul lima pagi. Ah, lagi-lagi khayalannya tidak terwujud. Menoleh pada ponsel pintar di sebelahnya, Tia lantas mematikan alarm itu. Tugasnya telah selesai untuk membangunkan Tia. Tepat saat Tia bangkit, berubah posisi menjadi duduk di kasurnya, suara gaduh dari dapur terdengar. Bayangan seseorang yang tengah menyiapkan sarapan sempat terpatri dalam benak namun belum cukup untuk mengusik pikirannya. Tanpa memedulikan hal itu, Tia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi.

Dengan cukup tergesa-gesa, Rangga menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Pagi ini ia ingin Tia memakan nasi goreng buatannya. Membayangkan Tia memakan nasi goreng racikannya sudah cukup membuat Rangga bahagia. Pelan-pelan Rangga mengaduk-aduk bumbu nasi goreng dalam wajan. Ia tak akan membiarkan Tia memakan nasi goreng yang tidak enak.

Tia keluar dari kamar dalam keadaan sudah siap untuk berangkat. Langkahnya besar-besar menuju tempat sepatu. Melihat itu, Rangga heran. Di luar masih gelap, mengapa anaknya itu sudah sangat rapi? "Tia, kamu mau langsung berangkat? Nggak sarapan dulu?"

Tia tidak menjawab dengan kata-kata. Egonya memerintahkan Tia untuk lekas pergi dan berangkat ke sekolah dengan angkot. Tia tidak mau terus-terusan sarapan dan berangkat ke sekolah dengan ayahnya. Toh, Tia tidak akan mengatakan sepatah katapun. Percuma saja kan? Lebih baik ia naik angkot saja.

"Sarapan dulu, Nak," bujuk Rangga. "Biar sekolahnya semangat."

Entah mengapa, ada sedikit bagian hatinya yang memaksa Tia untuk menuruti ayahnya. Menghela napas, Tia melangkah menuju meja makan, duduk di depan ayahnya.

Rangga tidak tahu niat anaknya di pagi hari ini. Namun setelah Tia duduk di kursinya, Rangga dengan tangkas menyiapkan sarapan mereka. Ia tahu Tia akan senang setelah memakan makanan kesukaannya. Susah payah Rangga menahan senyum saat memerhatikan anak tersayangnya. Tia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyuapkan nasi goreng itu ke mulut, mengunyahnya, dan meminum dua gelas air setelah makan. Tapi meski begitu, Rangga tetap senang. "Jangan lupa bawa air mineral ya, Nak. Itu botolnya ada di rak piring." Rangga berucap sebelum beranjak menuju kamarnya untuk menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke tempat kerja.

Lagi-lagi Tia tidak menjawab.

***

Ruang guru ini pasti sangat pengap akan suara-suara tidak penting bila saja Alvin lupa memasang penutup telinga di kupingnya. Ia tengah menunggu proses pendaftaran adiknya menjadi siswa baru di sekolah di mana ia berada sekarang. Kemarin ia sudah menghubungi pihak sekolah ini untuk menanyakan prosedur dan persyaratan pendaftaran. Dari sejak itulah, Alvin tahu apa yang harus dibawa dan adiknya dapat langsung bersekolah di sana.

Alvin sontak bangkit berdiri ketika wanita berkerudung dengan make up tebal —terutama di bagian bibir yang dipoles lipstick berwarna merah menyala —yang sebelumnya mengurusi pendaftaran Kiara, adiknya, datang menghampiri Alvin. Wanita itu duduk di balik mejanya sedang Alvin tetap berdiri di samping kanannya.

"Ini bukti pembayaran seragam sekolah," ujarnya sembari menyerahkan selembar kertas yang dihiasi tulisan-tulisan dan beberapa stempel. "Dan ini berkas-berkas yang bisa kamu bawa pulang."

"Terimakasih, Bu," jawab Alvin sungguh-sungguh.

"Tapi kamu harus bayar lima ratus ribu lagi untuk keperluan pendaftaran adik kamu."

Alvin nyaris saja berbalik badan untuk kembali ke rumahnya karena, sungguh, ia sudah lelah mengurusi ini dari pagi hingga kini menjelang sore. Mendengar penuturan wanita di hadapannya itu, Alvin tersenyum kecut. Ia membuka penutup telinganya untuk mengetahui apa yang terjadi. Sepersekian detik berikutnya, senyumnya kian mengembang. "Untuk keperluan pendaftaran ya, Bu?" tanya Alvin meski ia sudah tahu jawabannya.

At the MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang