BAB I - His

4.7K 340 66
                                    

∘₊✧──────✧₊∘∘₊✧──────✧₊∘

Jakarta, Juli 2023

Nala, aku suka sekali melihatmu sejak kali pertama kita bertemu di panggung konser amal nasional yang dipersembahkan sebagai concern pemerintah kepada anak-anak. We didn't talk a lot back then, aku dan kamu sama-sama orang baru di dunia musik. Dan kamu, meskipun semua orang bilang kamu baik, aku belum percaya tanpa memastikannya sendiri


"Permisi, kak. Kursi sebelahnya boleh saya tempati?" kamu menghampiri dengan mengangkat ujung gaun agar tidak terinjak heels setinggi sekitar tujuh senti dengan hati-hati.

Aku masih sibuk dengan kertas berisi lirik lagu yang belum kuhafalkan sambil memasang ear monitor yang kabelnya sulit terurai. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak saat tampil.

"Duduk aja." jawabku sekenanya. Aku sudah beberapa kali mendengar namamu karena kita satu manajemen, tidak tahu kenapa semua orang sepertinya suka membicarakanmu.

"Bisa tolong bantu benerin ini nggak?" aku gengsi sebenernya minta tolong ke kamu. Tapi karena semua kru sepertinya sibuk mengurus pengisi acara lain, jadi ya bagaimana lagi?

Kamu hanya melihatku datar. Oh, tidak. Matamu tajam sekali ternyata. Aku bisa jadi salah bicara kepadamu. 

"Saya, Nala kak." kamu buru-buru berdiri. Entah karena saking buru-burunya, gaun panjangmu yang mengembang malah membuat langkahmu goyah.

Aku ragu sekali menggapai ujung lenganmu, lebih tepatnya siku. Kalau aku terlambat, kamu bisa saja ambruk ke arahku.

"Hati-hati, Nala." Aneh, rasanya seperti aku sudah tidak asing denganmu. Tapi ini benar kali pertama kita bertemu kan? 


Tidak butuh waktu lama bagimu untuk melepaskan diri dan membenarkan posisi berdiri sehingga kita saling berhadapan. Aku bersyukur, tidak ada siapapun yang melihat kita saking sibuknya semua orang dalam ruangan ini.

"Mana?" mengulurkan tanganmu yang kecil, kamu meraih kabel dan langsung menguraikannya dengan cepat. Jarimu kecil sekali, Nala.

Masih sempat pula kamu memasang jack ke beltpack sebelum kamu kembalikan padaku, "Udah, Kak Pavel." Detik itu aku merasa sombong hanya karena kamu tahu namaku dan menyebutkannya langsung di depanku.

Aku mencari bola matamu, menatap lurus-lurus, sebelum bertanya satu hal yang kemudian aku sesali "Nggak mau bantu pasang beltpack-nya sekalian?" 

Wajahmu bersemu seperti bunga Sakura, kukira kamu akan memarahiku karena menghabiskan lima menitmu dengan hal yang tidak berguna dan berakhir digoda seperti ini olehku. Kamu diam dan mengalihkan matamu ke arah panggung utama.


"Nala, stand by! Lagu terakhir sebelum closing ya?!" suara floor director terdengar. Merasa terpanggil, kamu langsung berjalan melewatiku dengan satu anggukan kecil. Entah mengapa, aku merasa terhormat. Langkahmu tegap, anggun dan pasti. Tidak terganggu dengan siapapun yang berpapasan denganmu. Mereka menatapmu dengan sinar mata yang sama, terpesona. Tapi aku, lebih dari itu.

Dalam benakku, You walk like a real princess . Tapi ternyata aku salah. Kamu seperti malaikat, seperti yang semua orang bilang tentangmu. Aku percaya kamu adalah versi terbaik dari semua orang yang pernah kutemui.

∘₊✧──────✧₊∘∘₊✧──────✧₊∘

Aku suka menonton performance pengisi acara lain, tentu saja aku menyaksikan kamu menyihir penonton dengan suaramu yang lembut menembus langit semesta.

"Nala emang definisi nation's little sister banget sih."

"Bukan kaleng-kaleng anak itu."

"Modulasinya keren pas nyanyi."

"Suaranya mantep banget. Kayak kapas."

"Harta, Tahta, Nala!"

"Mana sopan banget lagi dia."

Aku tidak bisa memastikan siapa saja yang berpendapat seperti itu tentangmu. Mereka memujimu seolah kamu satu-satunya yang mereka sukai. Tapi, Nala... pikiranku malah dipenuhi bagaimana caranya kita bisa saling bertukar kabar setelah ini?


Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 saat kamu menyelesaikan penampilanmu bersama anak-anak spesial setelah menyanyikan "Heal The World" dengan cepat, sementara aku baru akan naik bersama beberapa lainnya.

Demi apapun, Nala. Aku kesulitan fokus kepada hal lain, mataku hanya melihatmu. Meskipun kamu, sibuk sendiri.

"Pavel, cepetan naik!" tepukan kru menyadarkanku dan aku kehilangan kamu.

Dengan tidak sabaran, aku melompati ujung belakang panggung menuju backstage, padahal jalan seharusnya adalah melewati tangga. Tidak apa-apa. Aku harus menemui kamu, Nala.

"Kenapa buru-buru?" aku sedang tidak ingin bercerita kepada manajerku ini.

"Nala di mana?"

"Siapa"

"Nala yang barusan tampil. Di mana?"

Manajerku tentu saja tahu kamu di mana. Ia menghampiri salah satu kru kemudian kembali padaku dengan gelengan kepala.

"Udah out."

"Lho kan belum closing?" aku terheran-heran karena kamu ternyata bergerak lebih cepat dari bayanganku.

"Dia 17 tahun, underage. Nggak boleh perform diatas jam 10 malam."

"Siapa yang nggak ngebolehin?" Biar dia tahu, aku sangat ingin tahu tentang kamu.

"Orangtuanya lah."

Nice try, Pavel. Aku bergumam pada diriku sendiri.

Dari luar terdengar masih terdengar letupan kembang api perayaan Hari Anak Nasional. Ya, kalian tidak salah dengar. Perayaan hari anak tapi dengan konser amal yang sampai hampir tengah malam seperti ini. Pejabat negara ini memang luar biasa hebat dalam membuat acara, apalagi acara aneh seperti ini.


The ProducerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang