Wanita paruh baya itu mengajak kedua pria yang baru saja datang menuju halaman belakang panti. Ibu berhenti di tengah-tengah halaman, berjongkok di samping gundukan tanah yang mulai tertutupi oleh rumput liar, tangannya menyabuti sebentar rerumputan liar itu serta membersihkan daun-daun kering yang menutupi. Ibu meletakkan tangannya diatas gundukan itu, tangannya terulur mengusap lembut nisan yang tulisannya sudah agak luntur, lalu menuangkan air disepanjang gundukan tanah.
"Pada saat itu, Ibu sedang berbelanja untuk kebutuhan Panti lalu Bu Rini menyusul Ibu. Katanya, Kiran gantung diri dikamarnya. Awalnya Ibu tidak percaya, tapi ketika Ibu melihat sendiri tubuh Kiran yang tergantung dilangit-langit kamar, barulah Ibu percaya. Ibu menangis, Ibu merasa gagal menjaganya.
Kiran yang selama ini terlihat ceria, ternyata menyimpan masalahnya sendiri. Masalah yang begitu berat hingga memilih untuk mengakhiri hidupnya."Kedua pria itu terdiam mendengar cerita Ibu.
Ibu menepuk lembut gundukan itu sekali lagi sembari menunjukkan senyum hangatnya. "Karena itu, Ibu meminta agar Sarah dimakamkan di sini, agar Ibu bisa selalu menjaganya."
Jake menatap Sunghoon sejenak, lalu pada pusara makam Kiran. Jake berlutut, diikuti suaminya. Tangannya ikut menyentuh tanah di depannya sambil tersenyum tulus. "Kiran pasti anak yang cantik dan manis, iya kan, Bu?"
Ibu mengangguk, "Benar. Dia adalah yang termuda, kami selalu menyayangi dan menjaganya. Kiran seperti malaikat yang membawa kebahagiaan dan kehangatan untuk kita semua."
Sunghoon masih diam, enggan untuk membuka suara. Helaan napasnya pun terdengar berat.
"Meskipun ini sangat terlambat, aku turut merasa kehilangan. Pasti sangat berat kehilangan orang yang kita sayangi," tutur Jake. "Sunghoon belum lama ini menceritakannya, jadi aku terlambat mengetahuinya. Tapi kami akan selalu mendoakannya, agar ia bisa bahagia dan tenang di sana."
Ibu tersenyum, "terima kasih. Kemarikan foto itu, Nak."
Jake menurut. Ia ulurkan tangannya, menyerahkan foto yang tadi mereka temukan lagi. Tangan Jake sedikit bergetar mengingat kejadian tadi siang, tapi ia tetap menunjukkan senyum terbaiknya.
"Ini adalah foto kesukaan Kiran," Ibu memandang foto ditangannya dengan pandangan teduh. "Usia Sunghoon dan Kiran tidak berbeda jauh, jadi mereka sangat dekat dulu. Sunghoon adalah kakak kesayangan Kiran, benar kan, Sunghoon?"
Yang ditanya mengangguk kaku, masih diam.
Ibu menghela napas, meletakkan foto itu di atas pusara. "Sayang sekali Kiran harus pergi secepat ini. Padahal dia satu-satunya temanku dirumah. Kakak-kakaknya, termasuk Sunghoon, sudah merantau saat itu. Sudah sibuk dengan pekerjaan dan keluarga mereka masing-masing." Jemarinya yang sudah keriput mengusap air mata yang mengalir dipipinya, lalu kembali tersenyum. "Sudah hampir malam. Ayo kita masuk."
"Ibu," Sunghoon akhirnya bersuara. Menahan pergerakan wanita itu yang akan beranjak dari posisinya. "Maaf, aku yang salah."
"Apa maksudmu? Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Sunghoon."
Si Park menggeleng. "Tidak. Ini salahku. Aku meninggalkan Kiran, Bu." Suaranya mulai serak.
Tangan Ibu mengusak surai gelap putranya. "Tidak. Ini salahku bukan salahmu, Nak. Ini salah Ibu yang tidak memerhatikan putri Ibu, sehingga Kiran merasa tidak memiliki tempat untuk berbagi. Kiran memendam semuanya seorang diri."
"Tidak Bu. Ini salahku. Ini salahku..." Sunghoon mulai terisak. "Aku yang menjerumuskannya. Aku sudah memengaruhinya lalu meninggalkannya."
"Apa yang kau bicarakan, Nak?" Keningnya berkerut bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nekma | Sungjake [END]
Fanfictionnekma [ne-kamah] (n) kebencian, dendam, amarah warning: mpreg horor bxb violation, blood, torturing, harsh words