2. Pacar Alenia

77 7 5
                                    


2. Pacar Alenia


Pukul sepuluh pagi. Hari ini Alenia ada beberapa jadwal kuliah untuk mata pembelajaran yang salah satunya akan membahas tentang kondisi kesehatan pasien jauh lebih dalam, selain itu, ada agenda di mana ia dan para mahasiswa lain berkunjung ke salah satu rumah sakit jiwa yang terkenal di kota ini.

Sungguh, Alenia sangat senang jika berkunjung ke tempat di mana nanti ia dibutuhkan.

"Kak? Sudah?"

Dari dalam kamar Alenia menjawab pertanyaan dari balik pintu kamarnya, "Sudah, Abi."

Arka yang masih sudah siap dengan kemeja putih dan celana hitamnya segera membuka pintu kamar Alenia, tersenyum begitu pandangan keduanya saling terikat melalui pantulan cermin di depan Alenia. "MasyaAllah, cantik sekali, Bu Dokter," puji Arka sembari mengecup singkat pucuk kepala sang puteri. Sama sekali Arka tidak berani menyentuh bagian tubuh sang puteri selain ini, itupun dengan terhalang kain di atas kepalanya.

"Abi juga tampan," balas Alenia serius. Arka hanya terkekeh kecil menerima pujian Alenia.

Dengan segera, ayah berusia 55 tahun itu mendorong kursi roda puterinya untuk keluar dari kamar. Seperti har-hari biasanya, jika bukan Refan atau Rafabian yang mengantarkan Alenia, maka Arka-lah yang harus bertugas. Tapi jika Mayra sedang libur, maka Mayra yang akan menemani Alenia untuk pergi ke kampus.

Sengaja seperti itu karena Alhara dan Arka tidak bisa membiarkan orang lain membantu Alenia turun dari mobil, terlebih laki-laki yang bukan mahramnya. Arka memang bukan mahram dari Alenia, tapi setidaknya, ia yang akan ada di bagian terdepan untuk membantu gadis itu.

"Sudah mau berangkat?"

Alenia dan Arka yang baru saja keluar dari kamar—menoleh bersamaan. Wanita dengan kerudung besar dan abaya hitamnya mendekat ke arah keduanya. Wajahnya tidak terhalang oleh kain seperti biasanya. Menampilkan wajah yang masih saja cantik di usia setengah baya. 

"Bunda mau kemana?" tanya Alenia.

"Mau pergi sama Abi kamu, sekalian antar anak Bunda yang setiap hari tambah cantik ini."

Pipi Alenia memerah. "Terima kasih," timpalnya senang. "ayok, kita pergi sekarang. Takutnya Alen terlambat."

....


Sesampainya di depan kampus, tiga orang perempuan muda yang berdiri tepat di sekitaran parkiran segera mendekat ke arah mobil yang ditumpangi Alenia dan orang tuanya. Ketiganya adalah teman kelas Alenia, yang selalu bersikap baik kepadanya.

"Mereka siapa, Kak?" tanya Alhara yang duduk di kursi depan. 

"Teman-teman aku," jawab Alenia bangga. Dengan perlahan ia membuka pintu mobil, melambaikan tangan dengan senyum bahagia.

Alhara yang tahu Alenia akan turun dari mobil juga ikut membuka pintu dan turun untuk membantu anaknya. 

"Tante, maaf, tapi biar kita, ya?" izin dari teman Alenia dengan sangat sopan. Wanita bercadar itu hanya mengangguk dengan menampilkan matanya yang berkerut menandakan ia sedang tersenyum.

Alenia telah duduk di kursi rodanya, keempat gadis muda itu berpamitan pada Alhara juga Arka kemudian pergi menjauh. 

"Pantas aja anaknya sholehah kayak gini, Mamanya pakai cadar," celutuk Nadin, perempuan dengan kerudung sport yang selalu dipakainya.

Qiana mengangguk membenarkan. Ia yang sedang mendorong kursi roda Alenia ikut menimpali, "Kok aku baru lihat Mama kamu ya, Len?"

"Bunda memang jarang bisa, soalnya aku larang, apalagi beliau pakai cadar," jawab Alenia.

"Gue iri sama lo, Al," ujar Syasa sedih. Anak broken home satu itu benar-benar ingin mendapatkan apa yang Alenia dapatkan.

"Sya, jangan pernah iri sama orang lain hanya karena apa yang lo liat. Lo gak tahu apa aja yang Allah ambil dari gue," bijak Alenia. "Setidaknya, orang tua kamu kompak besarin dan beri kasih sayangnya walaupun tidak dalam satu rumah. Kamu pintar, fisik yang sempurna, dan kamu bisa dapatin kasih sayang yang begitu dalam dari seorang Ayah sejak kecil," lanjutnya.

"Bu-bukan gitu, Len. Cuman ... apa yang lo dapat lebih dari cukup di tengah kekurangan, lo."

"Udah-udah, kita ke kantin, yuk? Dosen yang masuk juga undur jadwal sampai sejam ke depan. Mau gak?" 

Alenia, Syasa, dan Qiana mengangguk kompak. Empat sahabat itu segera menuju salah satu kantin untuk mengisi waktu. Begitu selesai dengan pesanan, Alenia menatap Syasa terus menerus. "Sya," panggilnya yang seketika menjadikan perhatian ketiga temannya tertuju pada Alenia. "Maaf soal tadi, tapi aku boleh cerita?"

Syasa mengangguk kecil.

"Bunda sama Abi yang selalu kalian lihat itu, bukan orang tua kandungku." Pernyataan Alenia mengundang tatapan penuh tanya. "Aku dan kembaranku itu yatim piatu setelah lima jam dilahirkan. Lebih tepatnya, kita yatim beberapa menit sebelum lahir dan yatim piatu lima jam setelahnya." 

Sebenarnya, tidak seharusnya Alenia bercerita seperti ini secara terang-terangan. Tapi melihat begitu besar perasaan iri kepadanya, sepertinya bukan hal buruk pula bercerita. "Bunda Alhara dan Abi Arka itu sahabat dari Mama Papa kandung aku. Mereka orang baik yang dititipan dua bayi kembar. Aku dan Bang Refan."

"Aku bisa peluk dan dapat pelukan dari seorang Ayah hanya sampai umur sepuluh tahun, setelah itu aku gak tahu lagi rasanya dipeluk Ayah gimana. Tapi alhamdulillah, Abi selalu kasi aku love language yang cukup. Kalau Bunda, semuanya aku bisa rasakan sampai sekarang. Kalau aku sedih, aku lebih suka dipeluk sama laki-laki, rasanya nyaman aja gitu. Tapi karena Abi gak bisa dan gak akan pernah bisa, makanya aku selalu dipeluk sama Bang Refan atau Bang Rafa kalau lagi sedih. Mereka sudah cukup memberi kenyamanan yang mungkin hampir sama pelukan seorang Ayah."

"Al ... sorry, tapi, gue gak minta lo cerita ini ...." Jelas Syasa ikut merasakan sedih atas segala hal yang menimpa Alenia selama ini. Terlebih setelah hampir sepuluh tahun berteman, Syasa baru tahu perihal ini.

"Gak apa-apa, aku sudah berdamai kok."

"Berarti, Refan gak bisa dapat kasih sayang dari Bunda kalian?" tanya Qiana. 

"Bisa, Bang Refan justru berhak atas itu, karena Bunda adalah Ibu Asi kita. Sedangkan aku gak bisa karena Abi bukan Ayah kandung aku, selama apapun aku hidup sama Abi, hubungan kita gak akan bisa berubah. Akan tetap berstatus Ayah dan anak angkat."

"Aku berdoa, semoga peran Ayah bisa kamu dapatkan dari pasangan kamu nanti, ya," ungkap Nadin bersungguh-sungguh.

"Aamiin ...," serempak mereka.

"Pasangan Alenia harus jauh lebih cinta sama Alenia dibandingkan cinta Alenia ke pasangannya kelak," kata Syasa.

"PASTI!" Suara besar tiba-tiba ikut menimpali percakapan keempat sahabat itu. Menjadikan beberapa perhatian tertuju pada satu sumber suara yang sama. Laki-laki tampan dengan outfit-nya yang tidak pernah gagal dalam memikat perhatian orang.

Riandi Nicholas—segera menggeser satu kursi agar ikut bersama dalam satu tempat dengan empat perempuan itu. Ia duduk di samping Alenia. "Gimana tadi, Sya? Lo bilang, 'pasangan Alenia nanti harus lebih cinta sama Alenia dibandingkan Alenia cinta sama orang itu'. Bener, kan?"

Syasa memutar bola matanya malas. Tidak ingin menanggapi.

"Lo nguping, ya, tadi?" tanya Qiana sedikit emosi.

Rian menggeleng keras, "Sumpah, kagak!" bantahnya, "dikit, cuman bagian Syasa, sumpah, deh!"

"Udah-udah! Kenapa jadi berantem sih!"

"Kan-kan! Marah nih pacar gue!"

Alenia menghembuskan napasnya jengah. Dalam hati bertanya kapan waktu tenang tanpa Rian ada di hidupnya. "Mulut kamu dijaga! Jangan sampai ada yang denger dan berpikir yang bukan-bukan!"

"Emangnya kenapa? Kan bentar lagi kita pacaran, atau kamu mau langsung nikah? Boleh, deh, kebetulan uangku sudah terkumpul puluhan juta."

"Kalau lo mau halalin Alen itu langsung ke rumahnya! Bukannya malah lamar di kantin kampus!" sarkas Nadin menggebu-gebu. 

"Oke deh. Tunggu sampai minggu depan, ya, Al. Gue mau siap-siap dulu sama urusan kampus baru speak up sama keluarga."

.... 

AleniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang