4. Lamaran

79 9 0
                                    

Alenia kembali!

Semoga suka, aamiin. And happy reading! 

Yang baru masuk waktu maghrib, jangan lupa shalat dan baca qur'an! Kasian kitab suci kalian dianggurin. Hitung-hitung tabungan akhirat 3> 

JANGAN SAMPAI SAMBIL BACA INI USIA KITA BERAKHIR!
SO, JANGAN LUPA BERIBADAH!!

4. Lamaran

Di taman belakang rumah, Alenia, Mayra, Rafabian dan Refan sudah berkumpul demi mendengarkan Alenia menyampaikan sesuatu yang mereka ketahui sangat penting. Walaupun nyatanya Alenia masih bimbang mengenai lamaran Rian kepadanya, tapi setidaknya keluarga terutama kakak kandungnya bisa mengetahui hal ini.

Refan sejak tadi terus menatap sang adik dengan begitu serius. Alenia yang tak kunjung juga mengeluarkan suara membuatnya sedikit muak. Refan bertanya dengan sedikit kesal, "Apaan sih, Dek?"

Alenia terperanjat kecil. "Sabar!" kesal perempuan itu. Ia menghela napas pelan sebelum berucap, "Aku ...."

"Iya, kamu kenapa?" 

"Aku dilamar," ungkap Alenia dengan suara yang sengaja dikecilkan. Tapi bukan berarti tidak mampu didengar oleh ketiga saudaranya. 

Mata Rafabian membola, Refan dengan mulut yang menganga dan Mayra yang diam mematung dengan kue di mulutnya yang tidak kunjung dikunyah. Berita yang diungkapkan Alenia benar-benar di luar ekspektasi mereka. 

Senyap hingga beberapa detik. "Namanya Riandi Nicholas. Teman kampus aku."

"Dek? Kamu serius, kan?" Alenia mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Rafabian. "Kapan laki-laki itu akan lamar kamu?"

"Malam ini."

"Kenapa baru bilang, Dek?"

"Maaf, Bang, tapi aku juga baru tau tadi. Aku cuman mau minta pendapat kalian aja."

"May, kamu masuk dulu, ya, Dek," kata Refan. 

Begitu adek perempuan mereka masuk ke dalam rumah, Rafabian kembali bertanya, "Kamu pacaran?"

Alenia menggeleng keras. "Nggak! Aku nggak pacaran, wallahi, Bang, aku nggak pacaran!"

"Ya kenapa tiba-tiba lamaran, Dek?" kini Refan melanjutkan pertanyaan.

"Beberapa hari lalu Rian udah bilang kalau mau lamar aku, aku kira itu cuman bohong. Tapi pagi tadi, dia langsung kasi tau malam ini mau ke rumah."

"Jadi kamu terima lamarannya?"

"Makanya itu, Bang, aku minta pendapat kalian. Aku gak tahu harus buat apa."

Refan dan Rafabian saling melempar pandang sekilas, "Kenapa gak tahu? Kamu gak suka sama laki-laki itu?" tanya Rafabian.

Alenia mengangguk kecil. "Dia baik, Bang. Tapi ... Alen gak mau nikah muda," bohong Alenia. Jelas bukan itu yang menjadi alasannya ingin menolak lamaran RIan, tapi karena ada laki-laki di belahan bumi lain yang masih mengisi hatinya sejak dulu. 

"Jujur, Dek. Kamu punya orang lain yang kamu suka?"

Jlep

Alenia kalah, Rafabian dan Refan bukanlah orang yang baru dikenalnya sehari dua hari lalu. Jelas keduanya bisa tahu tentang gerak gerik Alenia saat sedang berbohong.  "Iya, Bang ... tapi, aku juga gak mau nikah muda ...."

"Dek, kalau pun kamu punya orang lain, belajar menerima takdir. Laki-laki yang lamar kamu itu mau serius sama kamu. Dan pastinya dia sudah tau gimana sifat kamu. Setidaknya hargai, Dek!" sahut Refan. Dia tahu rasanya tidak dihargai dan dipatahkan oleh orang yang dicintai.

Laki-laki pemilik senyum miring itu menyadarkan punggung kokohnya pada kursi. Seolah energinya terkuras habis hanya karena beberapa kalimat yang ia lontarkan sebagai saran. Sungguh, tidak bisa Refan bayangkan akan sesakit apa perasaan laki-laki pemberani itu jika lamarannya ditolak.

Berbeda dengan Refan, Rafabian justru menghela napas pelan. Jika ia menyetujui saran Refan dan mendukung Alenia untuk menerima lamaran Rian, jelas dirinya menjadi penghianat karena sahabatnya juga mencintai Alenia. Tapi jika ia menolak opini Refan, itu artinya ia tidak menghargai perjuangan seseorang untuk mendapatkan adik perempuannya.

"Terus perasaan aku gimana? Andai aku terima dan menikah sama Rian, secara tidak langsung aku bikin Rian sakit hati juga, kan?" 

"Rasa kamu akan pindah. Dari seseorang itu ke Rian. Andai kalian benar-benar berjodoh."

Rafabian menggeleng beberapa kali, "Abang gak tahu harus bilang apa sama kamu, Dek. Kamu pikirkan baik-baik sebelum malam ini. Abang ke kamar dulu." Setelahnya, laki-laki berkacamata itu pergi dari hadapan kedua adiknya.

"Jujur, Bang, aku gak mau sama Rian. Tapi jauh dari itu, Rian orangnya baik, perhatian, tulus. Aku tahu dia benar-benar cinta sama aku."

"Dek. Kalau kamu minta pendapat Abang, Abang dukung kamu untuk nerima lamaran dia. Laki-laki kalau harus melupakan cintanya itu susah, Dek. Tapi itu tergantung sama kamu juga, Abang gak maksa."

Alenia mengangguk beberapa kali. Ia merentangkan tangannya. Refan yang paham segera berdiri dari duduknya dan memeluk sang adik dengan sangat erat.

"Dek, laki-laki bisa dengan mudah mengikhlaskan, tapi untuk melupakan, jatuhnya bukan susah, tapi menyiksa," tuturnya tulus sebelum mengecup lembut pucuk kepala Alenia.

___________


Malam tiba begitu cepat, seluruh anggota keluarga juga sudah siap dengan pakaian formalnya demi menghormati kehadiran keluarga laki-laki yang akan melamar Alenia malam ini. Sungguh, sejak tadi Alenia terus melamun di depan cermin menatap dirinya sendiri. 

Bahkan hanya sekedar memutuskan jalan yang akan ia ambil pun begitu menguras banyak tenaganya. Ia tidak ingin terikat dengan siapa pun sekarang. Tapi mengingat ucapan Refan sore tadi membuatnya lemah. Ditambah Rafabian yang tidak ingin berkomentar lebih atasnya.

Lamunan Alenia buyar begitu suara ketukan terdengar beberapa kali. Ia menoleh, bersamaan dengan masuknya Rafabian ke dalam kamar. "Kenapa, Bang?"

Rafabian tidak langsung menjawab. Laki-laki itu memilih menggeser kursi belajar Alenia dan mendudukinya tepat di depan sang adik. Jemarinya menggenggam erat kedua tangan Alenia. "Dek, Abang restuin semua keputusan kamu. Mau kamu terima atau tidak, itu hak kamu. Itupun seandainya kamu terima lamaran Rian, jangan lupa sama janji kamu, jangan korbankan ketidakmampuan kamu, dan minta pengunduran waktu dengan sopan. Jangan sampai menyakiti pihak lain."

Alenia mengangguk. "Bang, boleh Alenia jujur sama Abang?"

"Hm?"

"Alenia jatuh cinta sama laki-laki udah lama. Sejak dulu sampai sekarang rasanya masih sama. Alenia benar-benar tidak mau menerima lamaran Rian. Tapi Alenia juga gak mau menyakiti. Alenia harus gimana?"

"Dek, pilih sesuai hati kamu. Pikir baik-baik dulu. Seandainya kamu menolak Rian dan memilih menunggu laki-laki yang kamu suka, apa kamu yakin laki-laki itu akan datang lamar kamu? Apa laki-laki itu bisa menerima kamu dengan ikhlas? Apa laki-laki itu bisa sayang kamu seperti Abang, Refan dan Abi?"

"Aku gak yakin soal itu, Bang. Tapi ... aku pastikan laki-laki itu juga punya rasa yang sama."

"Kenapa kamu tahu?"

"Karena dulu dia pernah bilang."

"Yakin rasanya masih sama? Jangan sampai kamu jatuh cinta sendirian sedangkan dia punya orang lain."

Pupus sudah harapan Alenia. Tapi tidak mungkin laki-laki yang ia cintai punya perempuan lain. Tapi tidak menjamin juga rasa cinta laki-laki itu akan tetap sama. 

"Kita keluar, keluarga Rian sudah datang."


______


Ceritanya datar-datar aja, ya?

Hm, i'm really sorry abt that:( tapi akhir-akhir ini aku kena writers block. Tadi sekalinya kepikiran langsung aku tulis! 

so, maybe agak datar-datar dikit.


AleniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang