7. Kabar Tidak Terduga

164 12 8
                                    

Sudah beberapa hari ini Abimanyu tampak tidak bersemangat dalam memulai aktivitas. Sejak laki-laki itu mendengar kabar dari sahabatnya yang mengatakan Alenia telah dilamar oleh orang lain. Alenia adalah cinta pertamanya, Abimanyu yakin itu. Menyimpan rasa selama sepuluh tahun bukanlah hal yang mudah untuk memupuknya agar tumbuhnya tetap sama. Bukan mudah pula harus menghilangkannya.

Di balkon apartemennya, Abimanyu terus berdiri memandang luasnya kota dengan hiruk-pikuknya. Banyaknya suara di sekitar tidak mampu mengalahkan suara berisik di kepalanya.

"Sepuluh tahun ternyata sia-sia ya, Al?" gumam Abimanyu.

Foto lama dirinya yang berdiri sembari mengelus lembut pucuk kepala Alenia di hari ulang tahun perempuan itu; berhasil mematahkan fokus Abimanyu. "Enam bulan lagi, Al. Tunggu enam bulan lagi."

lama terdiam, laki-laki itu lalu kembali berucap, "Atau ... kamu terima lamaran laki-laki itu karena memang saya tidak ada di hati kamu?"

"Jatuh cinta memang sesakit ini, ya?"

Banyak igauan yang keluar dari bibirnya. Satu persatu spekulasi mengenai Alenia selalu saja datang silih berganti, memenuhi ruang kepalanya yang semakin tidak terkendali.

"Saya akan pulang, Al. Saya akan perjuangkan cinta saya, bagaimana pun caranya. Merayu Tuhan tidak cukup untuk mendapatkan kamu, Al."

***

Di taman belakang, Alenia berdiam diri sembari menyeruput teh hangat buatannya. Mencoba mengalihkan begitu banyak pertanyaan yang berkeliaran di dalam pikiran.

Ada satu pertanyaan konyol yang rasanya harus segara dijawab dalam waktu dekat. Apakah ia sudah jatuh cinta pada Rian?

Walaupun tanggal pernikahannya dengan laki-laki itu masih cukup lama, tapi tetap saja, menggantungkan perasaan bukanlah hal yang tepat. Setiap orang berhak memilih pasangannya, setiap orang berhak jatuh cinta, setiap orang berhak memiliki seseorang yang bisa membersamainya dalam waktu seumur hidup.

Tapi, Alenia rasa dia tidak akan mampu mewujudkan hal itu untuk Rian. Bahkan setelah beberapa bulan selalu bersama, perasaan Alenia tetaplah hambar. Tidak ada hal spesial yang dirasanya ketika saling menukar kalimat pada laki-laki itu.

Akhir-akhir ini pun Abimanyu selalu menjadi yang pertama dan selalu di pikirannya. Rasa yang ingin dia pendam justru berbalik arah menjadi semakin dalam.

Melihat Alenia duduk termenung sendirian, Rafabian yang ada di balkon kamarnyaIq7 segera beranjak, ingin rasanya meluangkan banyak waktu dengan sang adik sebelum pernikahan membawanya pergi.

"Dek, kenapa?"

Mendengar panggilan namanya, Alenia memutar kepala, tersenyum saat mendapati Rafabian di belakangnya. "Abang."

Alenia merentangkan tangannya, dan disambut baik oleh laki-laki itu. "Kamu kenapa? Ada yang mau kamu cerita?"

Di dalam dekapan Alenia mengangguk. "Ada, Alenia gak tau harus cerita ke siapa. Apalagi akhir-akhir ini Abang selalu sibuk."

"Maaf, mau cerita sekarang?"

Pelukan keduanya terurai. Rafabian menatap lekat wajah cantik di sampingnya yang menunduk memainkan jemari.

"Aku gak tau harus bagaimana," cicit Alenia. "Abang tau kan, kalau sebelum dilamar Rian aku punya orang lain yang aku suka?" Rafabian mengangguk menimpali.

"Hampir sebulan berjalan, tapi aku masih stuck di fase itu. Sama sekali tidak ada rasa apapun untuk Rian. Aku udah berusaha, Bang, tapi tetap saja, orang lain pemenangnya."

"Dek, pernikahan kamu, kan masih ada waktu sekitar satu tahun lebih ... biarkan semuanya berjalan, tidak apa kalau di hati kamu masih ada orang lain, mungkin, setelah ini, kamu bisa menerima Rian dengan baik."

"Bang, apa untuk orang lama jalannya memang harus mengikhlaskan, ya?"

"Tidak. Setiap orang punya bagiannya masing-masing, bisa jadi di kamu orang baru pemenangnya."

"Boleh kamu kasi tau Abang siapa orang itu?"

Alenia tersenyum kikuk, bagaimana ia bisa memberitahu Abangnya siapa orang itu? Apalagi jawabannya terlalu plot twist.

Alenia menggeleng. "Maaf, Bang. Untuk sekarang, biarkan menjadi rahasia."

**

"Kalian kok akhir-akhir ini selalu bareng, ya?"

Pertanyaan tidak terduga dari Qiana berhasil menyita perhatian Alenia, Rian dan ketiga teman yang lain.

"Iya ih! Gue juga mikirnya gitu loh!" timpal Syasa.

Nadin yang sedari beberapa hari lalu memperhatikan interaksi Alenia dan Rian pun mengangguki. Menatap keduanya intens.

"Apanya? Kita biasa-biasa aja kok perasaan," kata Rian. "Iya kan, Len?"

"Iya, perasaan kita gak dekat-dekat amat, deh?!"

"Jangan bohong kalian!" bentak Syasa sedikit emosi. "Kalian pacaran, kan? Jujur!"

"Gak-"

"Iya! Kita punya hubungan!" Potong Alenia segera sebelum Rian menyelesaikan ucapannya.

Rian menepuk jidatnya tidak habis pikir. Sedangkan Syasa, Nadin dan Qiana melongo tak percaya.

Qiana menggebrak meja sedikit keras. "Apa gue bilang! Kan! Kalian tuh akhir-akhir ini aneh tau, gak?! Biasanya berantem tiba-tiba jadi akur. Gak wajar!"

Qiana mengangkat tangannya ke udara sebagai isyarat untuk tidak mengatakan hal apa pun lagi. "Kok bisa? Ada yang bisa jelasin?"

Rian segera menyela sebelum Alenia mengambil alih, "Agama kita melarang pacaran, kan?" Anggukan Rian terima. "Karena itu, gue lamar Alenia untuk gue nikahin."

"Kita sebenarnya salah karena baru tunangan udah deket, tapi kalian tenang aja, jarak kita selalu jauh kok. Walaupun interaksinya jadi lebih intens."

Rian mengangguki penjelasan calon istrinya. "Kalian jangan marah ke Alen karena gak diundang, memang kita tunangan sebatas tukaran cincin. Tidak ada acara besar."

"Plot twist banget sih!" berang Syasa. Bagaimana tidak, Alenia sangat membenci kehadiran Rian di hari-harinya. Tapi tiba-tiba, kabar mengenai pertunangan keduanya terdengar begitu saja. "Kok lo mau sih, Al?"

Rian menatap tajam perempuan bermulut tanpa rem itu. "Mulutnya!"

Alenia terkekeh kecil melihat ekspresi wajah Rian sembari tangannya memperagakan sebuah cubitan kecil untuk Syasa. "Ya, gitu."

"Yakin lo bahagia sama laki-laki kayak Rian?"

****

Maaf karena akhir-akhir ini jadwalnya berantakan🙏☹️

AleniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang