Halaman 3

49 7 0
                                    

Suara bel istirahat menyapa pendengaran semua orang di sekolah, mau itu murid atau guru langsung melepas penat selama 30 menit sebelum kembali ke dalam kelas.

Setelah membereskan meja dan merapikan buku juga alat tulis, Juan langsung merebahkan kepalanya dan menghela napas. Mata pelajaran pertama adalah geografi yang di mana Juan tidak begitu mahir.

Matanya menangkap Satya yang memutar tubuh setelah mengobrol dengan teman di sebrangnya, tampaknya sih sudah sangat akrab ya jika didengar dari bahasa obrolan mereka.

"Gak istirahat?" Tanya Satya yang ikut merebahkan kepalanya ke meja.

"Tau sendiri gue belum deket sama siapa-siapa."

"Ya kenalan dong, manusia kan makhluk sosial."

"Males.." Juan menutupi semua wajahnya di lipatan tangannya dan berujar dengan lemas.

Bisa ia dengar kalau Satya berdecih dan gesekan bangku yang jaraknya tidak begitu jauh setelah decihan tadi. Saat Juan menoleh, lelaki di sampingnya itu sudah berdiri.

"Yu ke kantin, gue cariin lu lebih banyak temen."

Satya mengatakannya sambil memainkan alisnya, guna menggoda Juan supaya cepat berdiri dan pergi ke kantin bersamanya. Tapi respon Juan masih tetap sama, lemas, lesu, dan kepala yang tidak mau lepas dari tangan.

"Bangun atau gue tarik bangkunya sampai kantin?"

"iya ini bangun."

"Let's goooo! Ikutin gue." Satya berjalan lebih dulu bak prajurit yang sedang baris berbaris dengan Juan yang mengekori dari belakang.

Di sinilah sekarang Juan berada, yaitu di meja kantin yang berisikan 5 orang yang tidak ia kenali sama sekali, selain Satya. Rasanya tidak nyaman, mau kembali ke kelas. Di saat yang lain sedang bersenda gurau dan melayangkan candaan, Juan hanya berdiam diri di sebelah Satya dengan mata yang sibuk memandangi sekitar. Saat ada yang tersenyum ya Juan beri senyuman balik.

Sebelumnya Juan sudah kenalan kok dengan teman-teman Satya, ia ingat beberapa. Yang lain sedang berdiskusi ingin makan apa dan Satya menawari akan memesankan untuk mereka, saat sudah sepakat Satya berdiri dari duduknya.

Dan saat itu juga Juan ikut berdiri.

"Ngapain?" Tanya Satya heran.

"Ikut,"

"Di sini aja sama yang lain, gue mau pesen makanan."

Juan geleng kepala tanda tidak mau, ya nantinya dia sendiri dong? Juan tidak mau. Ia belum terlalu dekat dengan yang lain, lebih baik dia mengikuti kemana pun Satya pergi.

"Di sini aja ya?"

"ikut ya?"

"Nanti repot loh."

"Biarin." Jawabnya sembari menoleh dan bergidik bahu tanda tak peduli.

"Yaudah yuk."

Juan langsung mengikuti langkah lebar Satya menjauh dari meja yang mereka duduki tadi, "tunggu..." ujarnya pelan.

Keduanya berjalan menuju gerobak mie ayam, beberapa ada yang memesan mie dan setengahnya memesan bakso. Juan kembali berdiri di belakang Satya, tapi karena kantin sedang ramai-ramainya dan semua orang berdesakan membuat Juan hampir terombang-ambing karena banyaknya orang.

Ada saja yang mau lewat yang membuat Juan harus berpindah posisi dari yang tadinya berada di belakang Satya, lama-lama Juan hanyut dan berganti posisi ke pinggir dan jauh dari jangkauan Satya.

Tapi seperti sedang diselamatkan saat hampir tenggelam, tangan Juan ditarik begitu saja agar tidak terlalu jauh dan Satya adalah pelakunya. Ia baru sadar bahwa tidak ada Juan di belakangnya dan ketika melihat anak itu semakin jauh membuat Satya juga sedikit cemas.

Satya menarik tangan Juan agar kembali ke dekatnya, bahkan kini Satya menaruh Juan tepat di depan sambil memegang bahunya erat-erat. Juan menoleh sejenak kebelakang dan Satya hanya tersenyum sebentar sambil menaikan alisnya.

Seolah kini malah Satya yang tidak ingin lepas dari Juan, padahal faktanya agar Juan tidak hilang.

Beberapa menit di dalam kerumunan orang akhirnya Satya dan Juan bisa menghirup udara segar dengan jalanan yang tidak begitu padat akan manusia, keduanya membawa nampan dengan hati-hati agar tidak tumpah.

"Kan udah gue bilang diem aja di sana, nyesel kan?" Ujar Satya saat mengingat suasana tadi.

Juan menoleh untuk menjawab ucapan Satya tadi, "enggak nyesel sih, jadinya kan gue belajar survive di kantin sekolah ini karna ikut lo."

Satya terkekeh saat mendengar tanggapan yang menjadi positif dari mulut Jungwon.

"Makasih,"

"Loh buat apaan?" Satya bingung.

"Yang tadi, hampir aja gue hanyut."

"Oalah, lu berhutang budi sama gue." Ujar Satya terkekeh.

"Iya deh iyaa."

Sampai di meja yang mereka tempati, semuanya sudah sangat menanti mie ayam dan bakso yang mereka pesan, beserta es teh jeruk yang sangat segar dan pas sebagai pendamping.

"Wiih thanks kak Juna, best lah pokoknya."

"Juan, sama-sama." Jawabnya dengan senyuman tipis.

"Eeh iya! Kak Juan maksudnya, maaf maaf. Nama gue Dimas ya kak, jangan lupa."

Juan hanya menanggapinya dengan anggukan kepala saja, karena saat ini ia sedang mengunyah mie ayam. Satya yang berada di sebelahnya lah yang menimpali ucapan dia.

"Ngaran kamu mah pasaran, gampang diinget." Ujar Satya.

"Tapi muka kayak gue mah limited edition, nama boleh pasaran tapi muka jangan."

"Halah cil gede laga jasa, geus geura ma'em. Juan si Dimas mah kalau ngomong iyahin aja yah, biar seneng. Kenalin nama gue teh Piyar, panggil apa aja juga seneng hehe.."

Juan membalas jabatan tangan dari Piyar, pemuda yang memiliki pipi yang gembil dan mata yang saat tersenyum ikut tenggelam. Juan menimpali dengan ramah dan tersenyum juga.

"Coba kalau berbahasa tuh yang konsisten, apaan nama gue teh, Mau kedengeran gaul kamu teh, Yar?"

Nah kalau yang itu sepertinya Juan tahu, yang menimpali ucapan Piyar itu kalau tidak salah adalah Rangga, pria berponi yang memiliki kesan imut tapi tangannya kekar. Wajahnya yang rupawan membuat Rangga menjadi penerima para pengirim menfess sekolah.

"Ribut wae heran aing mah, Juan jangan didengerin ya berisik soalnya. Kenalin nama gue?"

"Hanan?" Tebak Juan.

Brak!

"BENER! Keren, Juan inget nama gue. Salken ya."

Juan tersenyum meski tadi sedikit kaget dengan reaksi Hanan. Sisanya Juan sudah kenal kok, hanya saja belum terbiasa untuk mengobrol dengan mereka dan menimbrung hanya saat Satya mengungkit dirinya.

"Kamu teh bisa basa Sunda gak Juan?" Tanya Piyar.

"Bisa kali, 'kan lu asli suku Sunda." Bukan Juan tapi ini Satya.

Berbeda dengan jawaban Satya, Juan justru menggelengkan kepala.

"Kok bisa? Jadi dari tadi kita ngobrol mix sunda kamu teh gak ngerti?" Piyar semakin heran.

"Waktu kecil gue gak terlalu lama di Bandung, jadi gak banyak belajar. Paling diajarin sama Ibu, gue ngerti kok dikit-dikit." Jawab Juan.

"Oh.... syukur kalau gitu." Ujar Dimas.

"Udah tenang, masih ada pelajaran Bahasa Sunda ini, Juan bisa belajar." Hanan datang sebagai penengah.

All PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang