Prolog

132 11 1
                                    

Satya lari terpogoh-pogoh dengan cengiran puasnya saat dia berhasil kabur dari guru kedisiplinan yang akan menangkapnya karena kini Satya telat, lagi. Melihat pintu kelasnya yang sudah semakin dekat maka laju larinya kian melambat dan napasnya sedikit memburu akibat rasa lelah yang tiba-tiba menyerang.

Ketika membuka pintu kelas dan menyembulkan kepala ke dalam, lagi-lagi cengiran tidak bersalahnya kembali muncul di wajah Satya saat sang guru yang tengah mengajar menoleh dan berkacak pinggang. Lalu dengan keberanian yang kini tersisa 50% itu membawa Satya melangkah masuk ke dalam kelas dan menghadap sang guru.

Ptak! Sabetan dari rotan langsung terasa di kulit lengannya yang pucat, Satya meringis dan langsung melotot ketika sang guru akan mulai memburunya dengan sabetan lain, insting bertahan hidupnya langsung tiba dan Satya menghindar, membuat gurunya kesal dan semakin berusaha menghajar si badung itu. Kekehan serta ringisan terdengar dari teman-teman kelasnya, dasar tidak memiliki belas kasihan pada Satya.

5 menit berlangsung, akhirnya Satya lumpuh di tangan sang guru karena rambutnya dijambak. Kini Satya berjalan ke arah tempat duduknya dengan beberapa rambut yang mencuat juga berantakan.

Sebelah alisnya terangkat melihat seseorang yang sangat asing bagi Satya, duduk di samping kursinya dan sedang menulis di buku tulis. Perawakan dengan bahu lebar, kepala bulat, dan matanya Satya akui itu mata yang unik dan cantik? Entah dengan kata apa Satya harus mengungkapkannya, karena Bahasa Indonesianya masih remedial.

Karena merasa orang baru itu tidak mengancam, maka Satya duduk begitu saja setelah menaruh tasnya. Bahkan orang di sampingnya ini tidak menoleh atau menaruh perhatian pada Satya, wah sepertinya anak ini harus Satya beri pelajaran.

"Oit,"

Dapat dilihatnya, bola mata anak itu terangkat dari buku dan menatap lurus sebelum akhirnya melirik lalu menoleh ke arah Satya.

"Salah kelas?" Tanya Satya.

"Enggak??" Orang ini melirik bukunya yang sudah ada catatan, salah kelas jenis apa sampai bisa menulis satu lembar kertas.

"Terus, nyasar?"

Dia menggeleng. "Enggak juga."

"Lah?"

"Lah??"

Dia dan Satya saling bertatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya Satya mengalihkan pandangan sambil berdehem pelan. Karena merasa Satya tidak akan bicara lagi, maka dia memutuskan untuk kembali berfokus pada buku serta papan tulis di depan.

"Oh, anak baru?"

Dia menoleh, "iya."

"Namanya-"

"Satya, kamu mau perhatiin saya ngajar di kelas atau kamu mau keluar?"

Waduh, status kini menjadi waspada dan Satya hanya menggeleng untuk menjawab. Akhirnya pertanyaan-pertanyan Satya yang ingin ditanyakan pada teman baru sebangkunya harus ditelan dulu karena guru demi keselamatan Satya saat itu.

***

Begitu jam istirahat sudah dimulai, Satya memperhatikan orang di sampingnya yang sedang mengemasi alat tulis dan setelahnya hanya diam melipat kedua tangannya di meja memperhatikan satu persatu orang di kelas keluar untuk pergi ke kantin. Mungkin karena terlalu fokus dan tidak mengalihkan pandangan ke arah mana pun, orang di samping Satya perlahan menoleh dan tersenyum tipis. Merasa kepalanya hampir berlubang karena tatapan Satya.

Bola mata Satya oleng melirik ke samping saat anak baru itu tersenyum ke arahnya.

"Kenapa?"
"Lu tuh kucing ya?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut mereka secara bersamaan. Mata anak baru itu berkedip-kedip mendengar pertanyaan Satya, sedangkan Satya sendiri juga bingung kenapa pertanyaan absurd di otaknya menang dari pada pertanyaan lainnya yang lebih waras.

"Gimana maksudnya?"

"Eh, enggak itu asal tanya aja, jangan dipikirin."

Kepala bulat itu mengangguk-ngangguk.

"Namanya siapa?"

"Juanda Yoga, lo? Kamu?"

Satya terkekeh kecil. "Santai aja. Nama gue Satya Dimaswara, lo pindahan dari mana?"

"Jakarta," jawabnya tersenyum.

Satya mengangguk dan memperhatikan wajah Juan, dalam hati dia terus mengulang nama lengkap Juan.

"Oh, oke. Panggil gue Satya aja, kalo Sat doang nanti kayak lo lagi ngumpat."

Kini, suara kekehan kecil Juan yang terdengar. Oh, lesung pipi, mata yang naik serta menyipit dan suaranya. Apa yang salah dengan itu semua hingga Satya terus memperhatikan Juan.

"Oke, Satya."

Lalu secercah senyuman dari Satya muncul ketika mendengar Juan menyebut namanya dengan benar, sederhana namun Satya sedikit terpana.

Dengan skill basa-basi Satya, akhirnya mereka berdua lumayan banyak berbincang meski didominasi oleh suara Satya yang masuk ke indera pendengaran dan Juan lebih sering mendengarkan sambil tersenyum memperhatikan Satya.

Ketika sadar Juan seperti itu, yang hanya bisa Satya lakukan pertama kali adalah berdehem. Satya memajukan tubuhnya dan menatap Juan.

"Mau keliling sekolah?"

"Emangnya Satya gak istirahat kayak yang lain?"

Aduh, satu hal lucu lainnya adalah karena Juan benar-benar terus memanggil Satya dengan benar dan terkadang tidak memakai lo-gue, padahal Juan pindahan dari Jakarta dan Satya tahu betapa gaulnya anak ibukota.

"Istirahatnya sekarang keliling sekolah aja dulu, emangnya gak mau?"

"Boleh deh, kalau Satya gak keberatan."

"Enggak, kan gak gue gendong."

Juan terkekeh sambil mengangguk, mengakui balasan jenaka Satya.

"Anyway, kayaknya omongan gue yang bilang lo mirip sama kucing, ada benernya."

"Ya?"

Satya hanya menggeleng dan berdiri lebih dulu, membuat Juan mendongak untuk menatap Satya sebelum akhirnya ikut berdiri. Yang ingin berkeliling sekolah siapa tetapi yang merasa tidak sabar siapa, Satya menoleh dan tersenyum pada Juan.

"Juan, kayaknya lo bakal ada di setiap lembaran cerita gue dari hari ini."

All PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang