Hari demi hari berlalu dan Juan mulai terbiasa dengan lingkungan barunya sekarang, meski masih belum terlalu banyak bicara tapi ia sudah bisa mengobrol santai dengan teman-teman yang lain.
Kalian ingat saat Satya meminta nomornya? Malamnya Satya langsung menghubungi Juan untuk memastikan nomornya benar atau sekedar prank, saat itu Juan hanya mengeluarkan ekspresi kesal meski tidak dapat Satya lihat. Satya juga menghubungi Juan bukan melalui Chat, melainkan langsung menelepon Juan.
Tidak begitu banyak hal yang dibicarakan tapi lumayan bisa tertahan lama, meski isi telepon mereka lebih didominasi oleh kesunyian kamar masing-masing. Juan yang kala itu menganggur hanya berbaring menatapi langit kamar yang polos bersih.
Satya di sebrang sana sedang duduk di pojokan kamar di bawah lampu penerang. Satya lebih sering mendengar suara pendingin ruangan dari kamar Juan dibandingkan suara sang pemiliknya.
Sampai di mana Satya membuka topik yang tiba-tiba terlintas di otaknya. "Masuk ekskul apa jadinya?"
Seketika Juan tertarik pada topik kali ini, "penyiaran"
"Loh kok jauh dari prediksi?" Heran Satya.
"Eum.. gak tau, taekwondo udah terlalu sering dan pencinta alam Ibu gak bolehin. Jadi opsi terakhir yang sedikit gue minati cuma penyiaran."
"Kenapa gak dibolehin?"
"Ibu gak mau anaknya dibawa-bawa pergi katanya, pencinta alam, 'kan pasti nanti keluar sekolah dan ada acara diluar, nah Ibu gak mau."
Terdengar kekehan Satya di sebrang sana, "oh iya gue belum mampir ke rumah lu, duh maaf ya gue ni tetangga yang buruk ternyata karna gak menyapa warga baru."
Juan terkekeh, "gapapa kali, udah banyak kok tetangga yang mampir."
"Juan,"
"Hm?"
"Kalau ketawa tolong jangan jauh-jauh dari speaker ya,"
Juan reflek berguling mendekati ponselnya. "Kenapa emangnya?"
"Mastiin aja itu lu atau bukan."
Tawa Juan yang tertahan berubah menjadi senyuman, "ada-ada aja."
"Kapan tes penyiarnya?"
"Besok."
-
"Di sini?" Tanya Satya saat sampai mengantar Juan ke ruangan tes penyiaran.
Juan hanya angguk kepala dan tangannya terangkat untuk menunjuk salah satu selebaran yang jelas menunjukan benar ini adalah tempatnya.
Satya hanya angguk kepala dan melihat sekitar, "masa lu doang?"
Juan bergidik bahu, "enggak tau, gue masuk ya. Lo kalau mau ke kelas silahkan."
"Oh.. oke, santai aja. Jangan gugup lu pasti bisa."
Juan masuk ke dalam ruangan tes, sedangkan Satya hanya berdiri di depan sambil kembali mengecek sekitar yang sepi. Satya belum ada niatan untuk kembali ke kelas duluan jadinya ia hanya memainkan ponsel dan membuka sosial media.
Beberapa menit berlalu untuk memainkan ponsel, tiba-tiba Satya seperti melihat salah satu profil yang dia kenal, bahkan saat dicek salah satu temannya sudah saling mengikuti dengan akun itu.
Saat ingin menekan tombol 'follow' suara pintu terbuka terdengar dan membuat Satya langsung mengalihkan perhatian.
"Hah?"
Alis Juan mengkerut saat melihat ekspresi Satya, "kenapa hah?"
"Kok cepet?" Saking herannya Satya bergerak mau mengintip ke dalam melalui pintu dan jendela besar tempat di mana murid-murid bisa menyaksikan mereka yang bekerja di dalam studio.
"Yang daftar cuma 5 orang, karna gue yang datang terakhir jadinya tadi langsung." Jawab Juanseadanya.
"Tes apa aja emang?"
"Kepo,"
"Serius ih, Ju." Ujar Satya sambil berjalan di samping Juan.
"Jangan serius-serius, Satya."
Keduanya kini saling tatap satu sama lain, bedanya mata Satya memicing. "Diajarin siapa?"
"Kak Hanan."
Juan berjalan lebih dulu setelah menjawab pertanyaan Satya. Sedangkan Satya di belakang sana memperhatikan Juan di depan sana sambil memikirkan hal-hal yang kita tidak ketahui.
"Juan!"
"Berisik Satya."
"Tunggu makanya."
"Ya malah melamun, lama."
"Nyebelin lu."
-
Kalau kalian tanya Satya siapa orang yang paling gak semangat selama ini, Satya bakal jawab Juan. Bukan tanpa alasan Satya akan menjawab Juan karena selama ia dekat dengan pemuda Februari itu Satya masih belum melihat sisi antusias dari Juan sendiri.
Setiap hari Juan akan bertingkah laku seperti anak kucing yang sedang meringkuk kedinginan, tatapan yang tidak memancarkan semangat hidup. Kadang Satya itu khawatir apa Juan memiliki masalah sampai membuat pemuda itu tidak bebas berekspresi.
Tapi mengingat obrolan pertama kali dengan Juan yang duduk di sebelahnya, Juan tersenyum saat membahas teman-temannya yang di Jakarta. Saat mengobrol melalui telepon ia juga mendengar tawa Juan dengan jelas karena rumah atau kamarnya sangat sunyi.
Apa Juan kesepian?
Tenggelam dengan pikiran yang menjelajahi sikap Juan, Satya tidak sadar kalau dirinya ditatap balik oleh Juan yang sedari tadi menjadi objeknya.
"Tabok aja si Satya mah biar sadar, tu anak tidur kok sambil melotot." Ujar Reno pada Juan.
"Kasian, dia masih ngedip kok."
Tangan Juan diangkat oleh Reno, mengatur gestur yang pas untuk menyadarkan Satya.
Plak!
"Aduh! Naon sih?!" Satya langsung mengusap pipinya karena terkejut sekaligus memang nyeri.
"Tuh bangun, 'kan Ju, nanti kalo tidur sambil melotot lagi tampar aja. Kalau gak tega hubungin gue biar gue yang tuntun kaya tadi."
"Dia lagi? Nyeri anjing!" Satya langsung bangun dan menoyor Reno.
"Ya lagian lu ngapain liatin si Juan kayak gitu anjer? Nanti anaknya sawan kumaha?"
Satya menoleh sekilas pada Juan, ada rasa malu sedikit. "Ya.. pokoknya sakit anjir, sini lu gua tabok!"
"Mainnya balesan anying, sini lu maju!"
"Ya lu sini! Ngapain diem ditempat?"
"Nih aing maju!" Reno maju sambil menyentil kening Satya.
"Mampus dia, gue tuh juara kampung nyentil."
"Dikira gue gak jago apa? Heh, sini lu anak Pak Oding."
"Kunoan bawa-bawa bapak gua anjir? Sini maneh anak Pak Suwandi."
Istirahat masih ada sekitar 30 menit bukannya mengisi tenaga dengan memakan makanan tapi mereka berdua malah bertengkar, mana tidak ada yang berani maju lebih dulu. Hanya berteriak di tengah kelas yang ramai.
"Woi maraneh kalau mau gelut tuh totonjokan bukan malah teriak-teriak, garieung!!"
Sumpah, baru kali ini Juan ingin sekali terjun langsung dari jendela di sebelahnya.