14. HOPE

302 62 37
                                    

Jangan lupa klik bintangnya🌟Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa klik bintangnya🌟
Happy Reading!

Langkah kaki itu kian mendekat pada satu-satunya manusia yang berada di taman ini di jam 2 pagi. Eros menghela napas lega melihat Jene tengah bersandar pada rantai ayunan dengan tatapan kosong sembari memperhatikan kaleng-kaleng di dekat kakinya.

Dengan hati-hati, Eros duduk di ayunan sebelahnya. Seketika bau alkohol menusuk hidungnya tetapi ia memilih untuk tetap diam. Bukan masalah besar, selagi gadis itu aman.

Eros tidak mengatakan sepatah kata apapun, ia mulai mengayuh kakinya di tanah dengan pelan hingga membuat ayunan bergerak ringan. Hal itu pun tak luput dari perhatian sang gadis, Jene melihat lelaki itu dari sudut matanya lalu ia tertawa kosong bagai manusia yang tak memiliki jiwa.

"Hmm... Lo mau dengerin gak apa aja yang udah gue lakuin hari ini?" ucap Jene masih dengan pengaruh alkohol. Eros mengangguk, matanya tertuju pada bunga-bunga indah didepan mereka.

"Gue gak bisa ngelanjutin praktek hari ini. Gue gak bisa. Gue gak suka itu!" Jene tertawa seolah-olah ia terhibur oleh kekurangannya sendiri. Ia kemudian memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan.

Eros menoleh ke arah gadis itu, senyum kecil terukir di bibirnya. "Gue tau." jawabnya.

"Terus gue keluar. Gue pergi dari tempat itu. Dan, boom!" Jene menendang kakinya di tanah, bagaikan langkahnya terhenti secara paksa. "Mami ada tepat dihadapan gue." Senyum sedih terlihat di wajahnya. "Mami marah besar dan bilang kalo gue anak yang bodoh dan gak berguna."

"Jene–"

"Tapi gue milih buat menghiraukan itu dan pergi dari sana." Gadis itu menundukkan pandangannya.

Eros bangkit dari ayunannya, berlutut tepat di hadapan sang gadis. Ia menggenggam tangan gadis itu untuk berbagi sebagian kehangatan tubuhnya. "Lo udah melakukan hal yang tepat, Je." Gadis itu menatapnya, kebingungan tergambar di wajahnya. "Gak ada yang pantas buat menilai kehidupan seseorang termasuk orang tua lo sendiri. Gue yakin banyak orang yang merasa kehadiran lo begitu berarti dalam kehidupan mereka, termasuk gue." tentu saja bagian itu hanya Eros katakan dalam hati.

Jene menatap mata lelaki itu yang juga sedang menatapnya dengan begitu tulus, ia merasa hangat memenuhi pipinya meskipun itu salah satunya karena efek alkohol.

Mata elang itu seperti samudera yang dalam dan Jene ingin melayang di atasnya karena tahu ia selalu bisa mengandalkan lelaki ini, seperti yang mereka lakukan di kolam renang. Jene memiringkan kepalanya, matanya masih menatap lelaki yang tengah berjongkok di hadapannya. "Cara lo bilang itu kedengeran kaya lo lagi flirting sama gue tau, Ros."

Eros tertawa, meletakkan kepalanya di tangan mereka yang saling terjalin. Namun kemudian tawanya mereda ketika ia melihat tanda ungu di pergelangan tangannya, mengangkat kepalanya saat ujung jarinya dengan hati-hati mengusap lebam itu. Jene yang tersadar lalu menarik dengan cepat tangannya tetapi Eros menahannya terlebih dahulu.

"Kenapa lo harus sakitin diri lo sendiri, Jene?" Tanya Eros, suaranya terdengar seperti orang yang terluka.

Jene memaksakan senyum tipis itu tercipta di bibirnya, ia menghindari untuk menjawab pertanyaan Eros. Tapi Eros juga tidak memaksa untuknya menjawab dan bertanya lebih lanjut tentang hal itu.

Entah bagaimana, Eros mengerti bahwa itu adalah coping mechanism sang gadis dari kehidupan nya yang kejam. Ia hanya berharap ia bisa datang lebih awal ubtuknya. Eros kemudian membawa pergelangan tangan itu ke bibirnya, mengecup lebamnya dengan ringan tanpa tahu bahwa hal itu membuat jantung Jene berdebar keras.

"Gue ada disini kalo lo butuh seseorang untuk jadi tempat bersandar dan luapin semua keluh kesah lo. Jadi gue mohon jangan sakiti diri lo sendiri lagi, Jene." Eros menatapnya dengan tatapan memohon.

Jene berkedip, ia sudah bingung tentang perasaannya sendiri dan Eros membuatnya lebih sulit baginya. "Kenapa... kenapa lo baik banget sama gue? Padahal gue gak pernah melakukan apa-apa buat lo."

Eros memindahkan pandangannya ke pergelangan tangan Jene lagi, memaksa senyum tipis. "Karena lo adalah orang yang mulai kebaikan itu sendiri ke gue. Lo pinjemin gue pulpen lo dan apa lo inget saat kita pertama kali ketemu di arena?"

Jene menaikkan alisnya, bertanya tak mengerti. Pandangannya sudah mulai buram dan kepalanya serasa diputar sekarang.

"Lo juga yang bikin gue sadar kalo gak semua cewek akan terpesona sama penampilan gue." Eros bangkit berdiri, memiringkan lehernya lalu dengan cepat mengecup dahi gadis setengah sadar di hadapannya itu. "Jadi biarin gue buat menjaga lo, Jene..."

Bahkan jika itu hanya untuk sementara, biarin gue buat ngerangkul lo dengan segenap hati yang gue miliki sehingga lo gak harus menghadapi dunia yang keras ini sendirian

***

Eros kini tengah menatap sosok yang sedang tidur di sampingnya, kepalanya menghadap ke sisi lain. Kursi mobil hampir terasa seperti tempat tidurnya yang kedua, begitu nyaman. Jene telah tidak sadarkan diri begitu Eros menjauh dari ciuman di dahinya dan hal itu jujur saja membuatnya lega.

Semoga Jene gak ingat dengan apa yang gue lakuin tadi.

Eros dengan panik meraih ponselnya saat berdering, cepat mengangkatnya sebelum bunyi itu menganggu ketenangan Jene.

"Lo berhasil temuin dia?"

Oh, ia lupa untuk memberi tahu Joshua.

"Ya. Ini mau gue anterin pulang." Eros menghela napas, tangannya yang lain memainkan tali jaketnya.

"Ros... gue rasa Jene bisa buat lo move on dari hubungan masa lalu lo itu."

Eros menelan ludah, tidak ada satupun dari mereka yang pernah menyebutkan tentang itu padanya sejak kecelakaan mengerikan yang dialaminya. Eros memalingkan kepala untuk melihat Jene berganti posisi, sekarang menghadap ke arahnya. Sebuah cebikan kecil terbentuk di bibirnya.

"Udah waktunya buat lo untuk bener-bener ngelupain hal yang beracun dan mulai yang baru. Jene orang yang tepat, Ros."

"Josh."

"Apa?"

"Shut your fuckin mouth."

Itu menjadi kalimat penutup panggilan diantara dirinya dan Joshua. Eros menghembuskan napas frustasi, mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangannya. Ia benci bahwa hatinya masih berdegup kencang saat memikirkan hari itu. Kata-kata dari orang yang menghancurkan hidupnya melintas begitu saja di pikirannya. "Kamu gak lebih dari sampah yang gak berguna, Van."

Eros melemparkan kepalanya ke belakang, kedua tangannya bergerak menutup telinganya. Napasnya terasa berat, ia menggelengkan kepalanya dengan keras mencoba untuk menghilangkan bisikan itu.

"Shit. Berhenti anjing!" Ia merintih pelan. Tidak lama kemudian, Eros berhasil menenangkan napasnya dan ia menyadari air mata mengalir di pipinya. Ia tidak ingin mendengar suara kecil itu mengatakan betapa tidak bergunanya ia. Eros memiringkan kepalanya ke samping, melihat Jene masih tertidur dengan tenang dan ia turut merasakan ketenangan itu saat menatapnya.

"Gue harap lo juga bisa bantu gue, Jene."

.
.
.
.
.
.
.
.

TBC

S

ee you in the next chapter!!!

Jangan lupa votement💚

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang