Part 3

31 3 0
                                    




            Jika tidak di kantor, tempat yang Will tuju hanya satu yaitu Club malam. Seperti biasa, Will dan teman-temannya akan open table di malam minggu. Kebiasaan ini terakhir kali Ia lakukan saat umur 30 tahun sebelum menikah dengan istrinya. Dikenal gila kerja, sebenarnya Will memiliki cara sendiri untuk menghilangkan kegilaannya itu. Ya dengan menikmati suasana clubbing di malam hari dengan alkohol.

            Will selalu ke klub bersama sahabatnya, Jack, Erick, dan Brandon. Erick sudah menikah sedangkan Brandon dan Jack belum. Ya wajar saja, umur Brandon juga baru 25 tahun. Masih mencari jati diri jodohnya. Sedangkan Jack juga diwajarkan saja, Ia keasikan menikmati wanita-wanita di klub malam hingga tidak sempat mencari istri.

            "Jadi, lo udah ada pengganti istri lo?"

            Jack yang bertanya seakan sudah dipengaruhi oleh alkohol. Satu hal sensitif yang tidak ingin Will bahas adalah mengenai hubungan Will dan istrinya. Brandon dan Erick menyadari hal itu. Ekspresi Will yang berubah dan ekspresi ingin membunuh Jack saat itu juga.

            "Jack lo udah mulai ngelantur," Erick memperingatkannya. Namun Jack, tetaplah Jack. Tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban dari pertanyaannya. Jack tertawa, "Jadi lo udah ada penggantinya ya? Gue lihat beberapa minggu ini ekspresi wajah lo gak semenyedihkan dulu."

            Will meremas kuat gelasnya hingga pecah. Membuat orang diruangan itu terdiam. Tidak lagi, pikir mereka. Pasti hal selanjutnya yang akan Will lakukan adalah meninju orang yang membahas itu dan orang itu selalu Jack. Sudah berapa kali Jack terkena tinju Will karena setiap mabuk membahas hubungan Will dan istrinya.

            "Gue lihat sekretaris lo disini!" ucap Kevlar yang baru datang seakan menjadi penyelamat bagi Jack kali ini karena setelah mendengar itu, Will langsung bergegas keluar. Kevlar dan yang lainnya menatap kepergian Will. Brandon menatap bingung kearah Kevlar, "Sekretarisnya yang buat dia berubah akhir-akhir ini?"

            Kevlar hanya mengangguk lalu menyusul Will yang sedari tadi berkeliling mengitari tempat itu. Kevlar menarik Will dan membawanya ke tempat sekretaris Will berada. Will mengamati punggung wanita itu dan berjalan kerahnya lalu duduk tepat di sebalah Lyn walaupun perempuan itu tidak menyadari kebaradaannya. Lyn sedang menggunakan mini black dress dengan rambut dikucir yang memperlihatkan leher hingga punggung indahnya.

            Will mendengar percakapan mereka, orang disebalah Lyn mungkin menyadari keberadaan Will dan menyuruh Lyn untuk menoleh kesamping. Will bisa melihat keterkejutan di wajah Lyn, "Pak Will?!"

            Will dcngan ekspresi seperti biasa hanya mengangguk kecil.

            "Kenapa disini? Pak Will nguntit saya?"

            Oke. Pertanyaan tidak masuk akal. Seperti dirinya tidak punya pekerjaan lain selain menguntit. Will tetap diam dan memperhatikan lekat wajah Lyn.

            "Ro, ada betadine sama kapasnya gak? Boleh minta?" tanya Lyn kepada bertender yang Ia yakini bernama Fero itu dan sepertinya mereka sudah sangat dekat.

            "Siapa?"

            Lyn menaikkan alisnya, "Maksudnya?"

            "Itu pacar kamu?"

            Lyn tersenyum tipis, "Kalau itu pacar saya, pasti saya mintanya gini 'sayang boleh ambilkan betadine dan kapas'. Lagian mau itu pacar saya atau bukan tidak ada urusan dengan Bapak."

            "Saya bukan bapak kamu."

            "Yang bilang Bapak itu bapak saya siapa? Tidak ada."

            "Kita tidak di kantor, panggil Will saja cukup."

            Lyn tidak membalas, Ia mengambil betadine dan kapas yang diberikan oleh Fero. Will menatap Lyn yang kini menatapnya dengan tangan seperti meminta sesuatu, "Give me your hand, Mr. Will."

            Will memberikan tangannya yang terluka karena pecahan gelas tadi. Will memperhatikan Lyn yang sedang membersihkan lukanya. Ia dapat melihat dengan jelas leher jenjang milik Lyn dan riasan wajah yang membuat Lyn terlihat sangat cantik malam ini.

            "Mau saya antarkan pulang?"

            Will menggelengkan kepalanya, "Saya sudah pesan supir."

            "Okey. Biar saya antar kedepan, Pak."

            Lyn memberikan kembali betadine dan kapasnya kepada bartender lalu membawa Will keluar Klub. Will masih sadar dan kuat berjalan sendiri namun Ia membiarkan Lyn mengantarkannya.

"Mr. Will or Will. Panggil saya saat kita tidak di kantor."

Lyn hanya menganggukkan kepalanya. Saat sampai di luar, ada perasaan aneh yang Ia rasakan. Tidak tau. Ia hanya ingin memeluk Lyn saat ini. Will memperhatikan lekat wajah Lyn sebelum mengatakan, "Can I hug you?"

            Respon anggukan dari Lyn seakan tidak terduga, Ia kira Lyn akan memarahi atau menatapnya dengan sinis ternyata tidak. Dengan segera Will mendekap tubuh wanita itu. Lama... sangat lama hingga mobil jemputannya datang. Bukan Will yang melepaskan pelukan itu, melainkan Lyn karena supirnya yang sudah menunggu terlalu lama.

            "Good night, Mr. Will."

            Will tersenyum hingga Lyn tidak terlihat lagi dari pandangannya. Malam yang indah.


*****************************************


            Setelah mengantarkan Will, Lyn kembali kedalam dan duduk disamping Grace. Malam in, Grace mengundang Lyn keacara party temannya, dari pada bosan di apart, Lyn memilih untuk ikut.

            "Siapa tadi Lyn? Kata Fero cowok kamu."

            "Itu boss aku."

            "Boss yang tiba-tiba nyium kamu itu?"

            Lyn mengangguk. Jangan heran jika Grace tau semuanya karena kejadian apapun Lyn selalu menceritakannya ke Grace, bahkan mimpi aneh waktu itu juga. Lyn hanya mengikuti saran dokternya yang mangatakan untuk membicarakan apapun pada satu orang yang Ia percaya dan Grace adalah sahabat sekaligus orang terpercayanya.

            "Gimana perasaan kamu? Udah jatuh cinta kah?"

            "Belum.. tapi aku ingin merasakan bibirnya lagi."

            Grace terbahak, "Sudah jatuh itu namanya."

            "Baru jatuh tapi belum ke tahap cintanya."

            Grace hanya mengangguk, "Kenapa gak dicium aja tadi? Bukannya dia lagi mabuk?"

            "Tamat riwayat aku, Ce. Udah nolak dan menghindar eh taunya ketagihan sama bibirnya."

            Grace menggelengkan kepalanya sembari tertawa melihat tingkah sahabatnya ini, "Apa jangan-jangan karena rumor istrinya jadi kamu ragu buat jatuh cinta?"

            Tepat sasaran. Memang itu alasannya takut jatuh cinta dengan bossnya itu. Lyn tidak mau malah menjadi cinta bertepuk sebelah tangan.

            "Lagian ya, menurut aku sih kamu maju aja. Ya mereka sudah delapan bulan tidak bersama. Siapa tau dengan kehadiran kamu, dia bisa merelakan istrinya."

            Lyn menggeleng kuat, "Tidak. Aku tidak mau merusak—"

            "Kamu tidak merusak, Lyn. Hubungan mereka sudah tidak baik dan seperti yang kamu ceritakan Boss kamu yang tidak ingin berpisah. Pasti ada suatu penyesalan disana," jelas Grace sembari menepuk pelan pundak Lyn, "Kalau dari cerita kamu, beberapa bulan ini Boss kamu kembali kebiasaan seperti saat ada istrinya berarti keberadaan kamu berarti buat dia. Percaya deh, Lyn."

            Lyn menghela nafasnya. Perkataan Grace memang ada benarnya. Tapi kita tidak tau, memang karena keberadaannya Will berubah? Atau memang Will sadar selama ini kebiasaanya bisa berdampak buruk untuk kesehatannnya? Lyn masih ragu, ragu dengan segala kemungkinan-kemungkinan ini.

Boss and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang