Jam menunjukkan pukul lima sore, dan Olivia baru saja tiba di rumahnya. Lebih tepatnya, rumah orang tuanya. Sebenarnya, Olivia sudah memiliki rumah sendiri, hasil dari kerja kerasnya. Namun orang tuanya menentang keinginan dia untuk pindah rumah sebelum memiliki suami.
Olivia dulu nyaman tinggal bersama orang tuanya. Namun rasa nyaman itu berubah sejak tiga tahun yang lalu, ketika dia membatalkan pertunangan karena tunangannya selingkuh. Dia adalah korban perselingkuhan, tapi dia sendiri yang dihujat dan di salahkan oleh orang tuanya.
Waktu itu, Olivia ingat kalau orang tuanya melarang dia membatalkan pertunangan, dengan alasan malu oleh keluarga besar juga tetangga. Di tambah lagi usia Olivia yang sudah dewasa, di mana sepupu-sepupunya semuanya sudah menikah bahkan ada yang sudah punya dua anak.
Olivia pun bukan tak ingin menikah. Tapi jika melanjutkan hubungan dengan seseorang yang sudah jelas tak bisa setia, itu hanya menyiksa dirinya sendiri di masa depan. Perselingkuhan bukanlah sebuah cobaan menjelang pernikahan. Tapi sebuah tanda kalau Olivia memang tak harus melanjutkan hubungan tersebut.
Olivia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Memikirkan masalah tersebut di saat tubuhnya letih setelah bekerja malah membuat kepalanya semakin pening. Dia butuh mandi lalu istirahat. Matanya sangat lelah karena harus terus menatap layar komputer.
Olivia menyentuh gagang pintu dan membukanya dengan perlahan. Suasana ruang tamu sepi, dan itu bukan hal aneh. Biasanya orang tuanya berada di ruang keluarga kalau jam segini.
"Kak, baru pulang?"
Sebuah suara terdengar menyapa Olivia. Dia adalah adik Olivia, yang bernama Dinda.
"Ya, seperti yang kamu lihat," jawab Olivia disertai dengan senyuman tipis. Walau akhir-akhir ini hubungan Olivia dengan orang tuanya memburuk, dia masih bersyukur ada Dinda yang selalu mendukung setiap keputusannya.
"Kakak mau langsung mandi kah?" Dinda bertanya seraya mengikuti langkah Olivia.
"Mungkin. Aku butuh istirahat, Din." Olivia menjawab.
"Bisa bicara sebentar gak?"
Olivia berhenti melangkah lalu menatap adiknya tersebut.
"Bicara apa?" tanya Olivia heran. Dinda pun memberi kode pada sang kakak agar mereka bicara di kamar saja. Akhirnya, mereka pun menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamar Olivia dan Dinda berada.
"Mau bicara apa?" Olivia bertanya pada adiknya tersebut seraya menyimpan tasnya di lemari.
"Ini tentang aku dan Ryan, Kak." Dinda menjawab. Jari-jarinya saling meremas, terlihat gugup.
"Ada apa dengan Ryan?" tanya Olivia heran. Setahu Olivia, Ryan adalah pacar Dinda sejak setahun yang lalu.
"Malam ini Ryan dan orang tuanya akan datang ke sini untuk membicarakan kelanjutan hubungan kami." Dinda menjawab dengan suara pelan. Dia menunduk, merasa tak berani untuk menatap sang kakak.
"Terus?" Olivia bertanya dengan heran. Dia lalu menghela nafas pelan melihat reaksi adiknya.
"Jika memang kamu ditakdirkan untuk menikah lebih dulu, aku tak masalah, Dinda. Kamu sudah bertemu dengan jodohmu," ujar Olivia. Dia berjalan mendekati adiknya dan menyuruh adiknya untuk duduk di pinggir ranjang.
"Aku tahu kalau Kakak tak akan mempermasalahkan ini. Sebenarnya, keluarga Ryan juga sudah tak menganut kepercayaan orang dulu. Tapi papa dan mama ...."
Dinda tak meneruskan perkataannya, dan Olivia pun tahu kelanjutannya bagaimana. Orang tuanya yang keras kepala percaya kalau seorang kakak tidak boleh dilangkahi menikah oleh adiknya. Dan jika memang orang tuanya begitu, berarti Olivia dianggap sebagai penghalang bagi Dinda yang ingin serius dalam hubungan dengan pacarnya.
"Papa dan mama bilang aku tidak boleh melangkahi Kakak. Aku harus menunggu sampai Kakak menikah lebih dulu." Dinda berkata dengan suara pelan, takut kakaknya tersebut tersinggung. Sebenarnya, Dinda sendiri sudah tak percaya dengan hal begitu.
Olivia terdiam mendengar itu. Jika begini, orang tuanya sama saja merusak hubungan baik antara dia dengan Dinda.
"Kamu jangan khawatir. Biar nanti aku berusaha bicara pada mereka," ujar Olivia mengalah. Well, Olivia juga tak yakin hasilnya akan bagus semisal dia bicara pada orang tuanya. Tapi mungkin, bisa di coba lebih dulu.
***
Arga dan Amanda berjalan beriringan memasuki sebuah rumah mewah dua lantai dengan gaya modern. Rumah yang didominasi warna putih itu terlihat bersih dan rapi walau sudah lama tak ditempati.
Ya, rumah itu adalah rumah yang pernah Arga tempati bersama mendiang istrinya dulu. Dulu, selama belasan tahun dia tinggal di sana bersama dengan mendiang istrinya dan Amanda. Dan Arga meninggalkan rumah itu setelah menikah lagi dengan istrinya sekarang, Sarah.
Arga awalnya sempat disuruh untuk menjual rumah tersebut, namun Arga memilih mempertahankan walau tak di tempati. Rumah tersebut penuh dengan kenangan tentang keluarga kecilnya. Arga tak mau kehilangan rumah yang menjadi saksi perjalanan rumah tangganya yang penuh perjuangan namun selalu bahagia setiap harinya.
Kini, Arga kembali ke sana bersama Amanda. Amanda sudah jelas tak akan mau tinggal di rumah yang dia tempati bersama istri dan anak-anak tirinya. Jadi, Arga akan meminta Amanda untuk tinggal di rumah tersebut.
"Apa Ayah sering datang ke sini?" Amanda bertanya seraya melihat sekeliling. Tak terlalu banyak perubahan di rumah itu, kecuali catnya yang rutin diperbarui.
"Sesekali. Mengontrol kebersihan dan keadaan," jawab Arga. Amanda manggut-manggut mendengar itu.
"Tak heran sih. Pasti Ayah lebih asyik di rumah keluarga baru Ayah," ujar Amanda menyindir lagi. Dia lalu berjalan mendahului ayahnya untuk melihat-lihat kondisi rumah tersebut.
"Baiklah. Aku akan tinggal di sini. Tapi aku nggak punya uang untuk beli pakaian dan barang-barang lainnya. Aku tak bawa apa-apa dari Singapura," ujar Amanda. Ya, dia memang sengaja tak membawa apa-apa. Hanya membawa beberapa berkas penting saja.
"Kamu jangan khawatir tentang itu. Besok kita bisa belanja semua kebutuhanmu," jawab Arga.
Amanda melihat-lihat seisi rumah yang sangat terawat. Sepertinya ayahnya membayar seseorang untuk rutin membersihkan rumah tersebut. Memang harusnya begitu sih.
"Jadi, malam ini Ayah akan pulang ke rumah mereka?" Amanda bertanya seraya menatap Arga. Arga tak langsung menjawab, terlihat kebingungan.
"Tak apa. Pulang saja ke sana. Aku sudah terbiasa sendiri," lanjut Amanda. Dia berbalik lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Amanda masih ingat di mana letak kamarnya, yang akan dia tempati malam ini.
Arga melihat ke arah tangga, di mana sosok Amanda sudah tak terlihat. Kemudian dia melihat sekeliling rumah yang sepi. Tentu dia tak akan tega meninggalkan Amanda seorang diri di sana. Jadi, sudah jelas dia harus menemani anaknya.
Arga berjalan menuju pintu utama dan menguncinya. Ya, dia memutuskan malam ini akan menginap di sana untuk menemani Amanda. Tentang Sarah, dia akan mengirimkan pesan nanti.
______________________________________
Hai semuanya. Update pertama untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
RomanceOlivia bekerja sebagai sekretaris seorang Arga Yudhistira selama bertahun-tahun. Dan selama itu, mereka tak pernah terlibat hubungan romantis karena Olivia tahu Arga sudah memiliki istri dan anak. Namun suatu hari, Olivia dikejutkan dengan lamaran t...