4. Pagi Yang Suram

11.7K 1.5K 35
                                    

Arga pulang ke rumah yang dia tempati dengan Sarah pada pukul setengah tujuh pagi. Dia pulang untuk mandi, berganti baju dan langsung bersiap untuk pergi kerja.

"Tidur di mana kamu semalam, Mas?"

Sarah bertanya ketika Arga sedang memakai dasi. Matanya menatap penuh rasa curiga pada suaminya tersebut.

"Aku tidur di rumah yang lama," jawab Arga dengan jujur. Sarah tertawa sinis mendengar itu.

"Kamu pikir aku akan percaya? Untuk apa kamu ke sana? Mengenang istrimu yang sudah mati?" Sarah bertanya dengan sarkastik. Gerakan tangan Arga langsung berhenti ketika mendengar itu. Dia lalu berbalik dan menatap istrinya tersebut dengan tajam.

"Jaga bicaramu, Sarah." Arga memperingatkan. Setelah mengatakan itu dia kembali menghadap cermin, memastikan penampilannya sudah rapi.

"Kenapa? Aku benar kan? Gak ada gunanya mengenang orang yang sudah mati, Mas. Dia tak akan kembali hidup lagi," ujar Sarah dengan menggebu-gebu.

"Aku kan sudah mengingatkan kalau kemarin itu ulang tahun Yudha dan Yuna. Harusnya Mas pulang dan berikan hadiah buat mereka. Mas sudah membuat mereka kecewa," ujar Sarah. Dia terlihat sangat kesal pada Arga sekarang. Arga menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia tak mau memulai pagi ini dengan sebuah pertengkaran yang tak berguna bersama Sarah.

"Mereka sudah dewasa, Sarah. Tak perlu lagi diberikan hadiah seperti anak kecil," ujar Arga. Dia lalu mengambil jasnya dan memakainya. Arga berusaha tak terpancing emosi.

"Gak bisa gitu dong, Mas. Kamu-"

"Sarah, aku juga punya anak. Apa pernah sekali saja kamu memikirkan anakku?"

Arga memotong perkataan Sarah dan balik bertanya dengan kesal pada istrinya tersebut.

"Dia kan tidak di sini, Mas. Lagi pula-"

"Amanda sudah kembali. Dia tinggal di rumahku yang lama dan semalam aku menemani dia. Sekarang kamu harus mengerti kalau aku juga punya anak sendiri yang harus aku perhatikan." Arga memotong perkataan Sarah lagi. Setelah mengatakan itu, Arga mengambil kunci mobil, dompet, dan ponselnya. Lalu dia berjalan keluar dari dalam rumah, untuk segera pergi kerja.

Sedangkan Sarah, terlihat syok mendengar perkataan suaminya tentang Amanda yang pulang dari Singapura dan akan menetap di sana. Mendengar itu, Sarah tahu kalau keberadaan dia dan anak-anaknya mulai terancam.

***

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi dan Olivia sudah sibuk dengan layar komputer di depannya. Dia berusaha fokus walau keadaan tubuhnya terasa kurang baik pagi ini.

Semalam, energi dan air matanya benar-benar terkuras habis. Dia menangis semalaman membuat matanya terlihat bengkak sekarang. Kepalanya pun agak pusing karena kurang tidur. Dan itu semua terjadi setelah dia bicara dengan orang tuanya.

Seperti yang Dinda katakan, malam tadi Ryan dan orang tuanya datang untuk meresmikan hubungan. Semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Dan keluarga Ryan pun meminta agar mereka bisa segera bertemu lagi untuk secepatnya menentukan tanggal pernikahan.

Setelah kepulangan keluarga Ryan lah Olivia berusaha bicara pada orang tuanya. Memberikan pengertian agar orang tuanya jangan terlalu percaya pada mitos orang-orang zaman dulu. Olivia juga mengatakan tentang dirinya yang tak keberatan kalau dilangkahi menikah oleh Dinda.

Namun tentu perkataan Olivia tidak diterima baik oleh orang tuanya. Mereka menyebut Olivia sok tahu tentang kepercayaan mereka. Dan ujungnya, Olivia disalahkan karena membatalkan pertunangan tiga tahun lalu. Dengan dalih, kalau saja Olivia tak egois waktu itu pasti dia sudah menikah dan tak akan mengganggu rencana pernikahan Dinda sekarang.

Akhirnya, tetap saja Olivia yang salah. Orang tuanya bersikukuh Olivia harus menikah lebih dulu sebelum Dinda. Walau Olivia sudah legowo dan tak masalah di langkahi, tetap saja orang tuanya keras kepala.

Setiap kata yang dilontarkan orang tuanya berhasil melukai hati Olivia. Setelah menahan diri mati-matian agar tidak menangis di depan orang tuanya, akhirnya air mata Olivia tumpah juga setelah berada di dalam kamar. Dia merasa sakit hati atas semua perkataan orang tuanya sendiri.

Andai saja ada laki-laki yang serius ingin menikah dengannya, laki-laki yang setia dan tak suka main perempuan, laki-laki yang satu pemikiran dengannya dan memiliki kecocokan dengannya, Olivia juga tak akan menunda-nunda untuk menikah. Namun mungkin, memang belum waktunya jodohnya untuk datang.

Karena kejadian tak mengenakkan semalam, akhirnya Olivia memutuskan berangkat lebih pagi tadi ke tempat kerja. Dia bahkan melewatkan sarapan, karena enggan bertemu dengan keluarganya. Rasanya, Olivia ingin cepat-cepat keluar dari rumah orang tuanya.

Saat Olivia sedang berusaha fokus pada pekerjaan, terdengar sebuah sapaan ramah dengan nada suara yang ceria. Diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

"Selamat pagi, Kak Oliv."

Amanda, gadis itu menyapa Olivia dengan senyuman yang lebar dan ramah.

"Pagi juga, Nona Amanda." Olivia balas menyapa. Amanda langsung mencebikkan bibir mendengar panggilan Olivia barusan.

"Ish. Udah aku bilang gak usah pake embel-embel nona. Cukup Amanda saja," ujar Amanda dengan sebal. Olivia terkekeh pelan mendengar itu.

"Kak Oliv menangis kah?" Tiba-tiba Amanda bertanya seraya memperhatikan mata Olivia yang membengkak.

"Enggak, Kok. Cuma kurang tidur samalam," jawab Olivia berbohong.

"Iya. Kurang tidur karena menangis. Makanya matanya bengkak begitu," timpal Amanda langsung. Dia mendekati Olivia lalu menyerahkan sesuatu pada sekretaris ayahnya tersebut.

"Tadi aku mampir beli sandwich untuk sarapan. Aku jadi ingat sama Kak Oliv. Jadi aku belikan satu. Semoga Kak Oliv suka," ujar Amanda disertai senyuman yang lebar. Olivia tentu terkejut mendengar itu. Sebuah kebetulan, perutnya memang belum diisi apa-apa selain secangkir teh hangat tadi.

"Amanda, terima kasih banyak. Kebetulan sekali aku belum sarapan," ucap Olivia. Amanda tersenyum senang mendengar itu.

"Baguslah. Di makan ya. Aku mau menemui Ayah dulu. Semoga saja Ayah juga suka dengan sandwich yang aku beli ini." Amanda berkata dengan riang. Dia lalu berjalan memasuki ruangan ayahnya tanpa mengetuk pintu dulu. Olivia tersenyum setelah sosok Amanda tak terlihat. Melihat Amanda, membuat Olivia teringat pada adiknya sendiri. Apalagi mereka memang seumuran, sama-sama baru lulus S1.

Tatapan Olivia lalu beralih pada kotak makanan berisi sandwich dari Amanda barusan. Akhirnya Olivia pun membuka bungkusnya dan mulai menyantapnya. Sebuah kebetulan Amanda memberinya sandwich ketika dia melewatkan sarapan tadi. Dan sepertinya, akan lebih baik dia menghabiskan sandwich itu terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan.

______________________________________

Hai semuanya. Update kedua untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya🥰🥰

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang